Teori Politik Machiavelli

Inti pemikiran politik Machiavelli adalah kekuasaan, bagaimana kekuasaan ini diraih dan dipertahankan. Sumber kekuasaan bagi Machiavelli adalah negara, oleh karena itu negara dalam pandangannya memiliki kedaulatan dan kedudukan tertinggi. Namun pemikirannya mengenai bentuk negara ini bukanlah negara demokrasi seperti yang sedang menjadi kecenderungan sekarang ini. Yang menjadi perhatian Machiavelli tentang bentuk negara ini adalah, kekuasaan despotik, kolonial, dan aneksasi. Pemikiran ini tampaknya sudah tidak bisa dipakai karena sangat bertentangan dengan demokrasi dan kesamaan derajat antara bangsa-bangsa. Selain itu, sebagian pemikirannya tampak diwarnai ide kekerasan, kelicikan, dan egoisme dalam rangka meraih dan mempertahankan kekuasaan. Namun apakah seluruh pemikirannya sudah tidak sesuai zaman dan tidak terpakai lagi. Apakah sebenarnya masih ada, paling tidak unsur-unsur pemikirannya yang masih bisa diterapkan dalam praktek negara demokrasi.
Sebenarnya tidak seluruh pemikiran Machiavelli tidak terpakai lagi. Banyak unsur-unsur pemikirannya yang bisa diterapkan dalam praktek negara demokrasi. Tentu saja ajaran-ajarannya tentang kekerasan seperti menumpas habis seluruh keluarga penguasa lama, bertindak jahat jika diperlukan, sudah tidak bisa dipraktekan lagi. Namun ajaran-ajaran lainnya dalam hal strategi untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan, sejauh masih dalam koridor peraturan perundangan yang berlaku, tentu saja masih layak untuk dipraktekkan.

Meraih Kekuasaan
Kekuasaan menurut Machiavelli merupakan alat yang mengabdi pada kepentingan negara. Kekuasaan, dalam hal ini kekuasaan militer, juga merupakan dasar negara yang utama, bahkan melampaui hukum. Oleh karena itu, ajaran Machiavelli dinamakan ajaran tentang “kepentingan Negara” (staatraison). Jadi, negara adalah tujuan akhir dari kekuasaan. Bahkan demi tujuan akhir tersebut, Machiavelli mengabaikan tujuan-tujuan lainnya, seperti keadilan, kebebasan, dan kebaikan bagi warga negara. Hal ini tentu saja tidak sejalan dengan etika kekuasaan di negara demokrasi dimana rakyat adalah tema sentral dari kekuasaan.

Namun ada unsur pemikiran Machiavelli yang masih relevan dengan konteks negara demokrasi, yaitu, dalam hal bagaimana meraih kekuasaan. Seseorang dapat meraih kekuasaan, menurut Machiavelli apabila dalam dirinya terdapat dua hal, yaitu, keberuntungan (fortuna) dan kecerdikan (virtu). Keberuntungan menentukan separuh dari dapat diraihnya kekuasaan, separuh lainnya, atau hampir sebanyak itu, ditentukan oleh kecerdikan individu tersebut. Digambarkan olehnya bahwa manusia harus mempersiapkan diri dengan virtunya agar ketika “banjir” keberuntungan itu datang, dia telah siap untuk menghadapinya dan menggunakan keberuntungan tersebut sebaik-baiknya demi meraih kekuasaan.

Ada kecenderungan bahwa orang yang kekuasaannya lebih didasarkan pada kecerdikan, lebih kuat kedudukannya. Semakin orang tidak mengandalkan keberuntungan, akan semakin kuat kedudukannya. Sebaliknya, orang yang meraih kekuasaan lebih karena keberuntungan sehingga didapatkannya tanpa usaha keras, akan mengalami kesulitan besar dalam usahanya mempertahankan kekuasaan.

Mempertahankan Kekuasaan
Dalam era demokrasi pun banyak unsur pemikiran Machiavelli tentang mempertahankan kekuasaan yang layak untuk dipakai, namun tentunya dengan penyesuaian berupa penghalusan cara-cara tindakan. Misalnya, pemikirannya tentang seorang penguasa harus mengetahui bagaimana menggunakan sifat manusia dan sifat binatang, dan bahwa menggunakan salah satu tanpa yang lainnya tidak akan dapat bertahan. Kedua sifat ini memang harus dimiliki penguasa. Dalam hal sifat binatang, Machiavelli mengatakan bahwa seorang penguasa harus menjadi rubah agar mengenal perangkap-perangkap dan menjadi singa untuk menghalau serigala-serigala. Jelas sifat ini perlu dimiliki penguasa sebab dalam politik di era demokrasi ini terdapat banyak perangkap-perangkap dan ancaman-ancaman dari lawan-lawan politik. Sifat binatang ini hanya dipakai apabila terdapat ancaman bagi kelangsungan kekuasaan, diluar kondisi itu, penguasa sepatutnya kembali bersifat manusia. Untuk menghindari datangnya perangkap dan ancaman, dapat diantisipasi dengan beberapa cara, misalnya, tidak menambah kekuasaan seseorang (bawahan) yang sudah kuat, tidak memasukkan orang yang terlalu kuat ke dalam jajaran kabinet, kalau seandainya ada seseorang yang menjadi terlalu kuat di dalam kabinet sehingga berpotensi melampaui kekuasaannya, sebaiknya diberhentikan.

Pemikiran Machiavelli lainnya yang masih layak dipakai dalam praktek negara demokrasi adalah berupa nasehat-nasehat. Tentang hubungannya dengan militer, Machiavelli mengatakan bahwa seorang penguasa ideal ialah seorang penguasa yang harus sanggup menjadi panglima militer yang cakap dan trampil serta yang benar-benar dapat mengendalikan angkatan perang dengan baik. Penguasa dalam negara demokrasi adalah juga seorang panglima tertinggi dalam angkatan perang, maka penguasa harus bisa menunjukkan perannya dan bisa mengendalikan militer sebaik-baiknya. Selain itu, penguasa yang kuat adalah mereka yang mempunyai pasukan yang besar atau bisa menghimpun angkatan perang yang mampu menghadapi setiap ancaman kedaulatan negara.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Kumpulan Artikel Lengkap Hendria.com | Blog Tutorial Penamerah.com | My Facebook Hendrik Ka | My Twitter Hendrik Ka | Template by Templateezy | Powered by Blogger