Bangsa Kaya yang Miskin

Kemiskinan masih merupakan masalah besar bagi Indonesia. Hasil penelitian BPS menyebutkan bahwa hingga maret 2007 masih ada 37 juta lebih rakyat Indonesia yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Sementara Bank Dunia tahun 2006 menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin Indonesia lebih dari 39 juta.
Kesadaran akan perlunya pemberantasan kemiskinan yang mulai mengemuka sejak pertengahan tahun 1970-an, yaitu dengan mulai disadarinya keharusan melakukan pemerataan hasil-hasil pembangunan, ternyata tidak berhasil menyelesaikan masalah tersebut. Alih-alih terselesaikan, kemiskinan malah meledak saat terjadinya krisis ekonomi satu dasawarsa yang lalu.
Nyatanya, setelah sepuluh tahun pemerintahan di era reformasi, kemiskinan masih menjadi masalah besar. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apa penyebab gagalnya penanggulangan kemiskinan. Adakah akibat negatif jika masalah kemiskinan tetap tidak bisa diselesaikan.
Kebijakan Politik Pro Pasar dan Investasi
Salah satu faktor penting dari gagalnya pemberantasan kemiskinan adalah kebijakan politik pemerintah tidak memihak penduduk miskin. Hampir setiap periode, pemerintah terlihat tidak secara sungguh-sungguh memperjuangkan peningkatan kesejahteraan kaum miskin. Rezim Orde Baru misalnya, lebih memfokuskan diri pada pertumbuhan ekonomi. Meskipun pada saat itu dibuat berbagai kebijakan penanggulangan kemiskinan, misalnya Instruksi Presiden (INPRES) , namun program tersebut dan program lainnya tidak mampu menyelesaikan masalah kemiskinan secara tuntas. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi ketika itu diwarnai oleh tetap adanya kemiskinan dengan jumlah yang cukup signifikan .
Rezim-rezim di era reformasi pun tidak memperlihatkan kebijakan yang pro rakyat miskin (pro-poor). Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan terlihat berada di sisi ekstrim dalam hal kebijakan yang tidak pro-poor ini. Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu amat pro pasar dan investasi.
Posisi pemerintahan SBY yang amat pro-pasar terlihat paling jelas pada sikap terhadap kenaikan harga-harga. Setiap terjadi kenaikan harga-harga kebutuhan pokok masyarakat disikapi pemerintah sebagai perubahan normal. Bagi pemerintah, kenaikan harga merupakan hasil mekanisme pasar yang wajar. Karena itu pemerintah merasa tidak perlu melakukan langkah-langkah signifikan dalam menyikapinya.
Disini terlihat bahwa pemerintah amat loyal terhadap pasar. Karena itu, pemerintahan Presiden SBY sekarang ini kiranya dapat dikatakan menganut mazhab neoliberalisme . Selaras dengan mazhab yang dianutnya tersebut, pemerintah terlihat amat membatasi langkahnya sendiri sehingga kalaupun melakukan intervensi, hal itu dilakukan dengan amat minimal .
Pemerintah (yang neolib ini) yakin bahwa dengan dinamika dan logika pasar, masyarakat akan mampu bertahan. Di sisi lain, pemerintah tampaknya meyakini bahwa jika suatu negara ingin mencapai kemajuan ekonomi, maka peran negara harus diminimalisir seraya memberikan keleluasaan bergerak dan otonomi bagi dunia usaha. Meskipun diperlukan, peranan pemerintah harus dibatasi. Alasannya, apa yang bisa dikerjakan oleh pemerintah dapat dikerjakan oleh swasta secara lebih efisien. Selain itu, terdapat keyakinan klasik yang beranggapan bahwa pasar dapat memperbaiki dirinya sendiri jika mengalami krisis.
Sikap ini amat beresiko dan memungkinkan munculnya anarkisme pasar. Banyak bukti memperlihatkan bahwa invisible hand hanya ilusi. Pasar, telah terbukti tidak memiliki mekanisme bagi terjadinya pemerataan hasil-hasil kegiatan ekonomi. Keyakinan akan adanya “tangan tidak kelihatan” yang akan memeratakan hasil-hasil kegiatan ekonomi dan membuat tatanan masyarakat yang seimbang hanyalah isapan jempol belaka. Yang nyata adalah korban yang berjatuhan akibat pasar yang anarkis, termasuk anarkisme pasar konvensional yang menjual bahan kebutuhan pokok masyarakat dengan harga liar.
Katak dalam Air yang Dipanaskan
Celakanya, masyarakat sekarang ini cenderung semakin pasif terhadap setiap kenaikan harga barang kebutuhan pokok. Masyarakat cenderung bersikap diam seakan dapat menerima kenyataan harga-harga yang terus merangkak naik. Apakah fenomena ini menggambarkan bahwa masyarakat benar-benar dapat menerima setiap kenaikan harga tersebut?
Berkaitan dengan hal ini penulis teringat perumpamaan yang dipakai Al Gore dalam film An Inconvenient truth . Mantan Wapres Amerika Serikat yang menjadi aktivis antipemanasan global dan peraih Hadiah Nobel Perdamaian tahun 2007 ini mencontohkan diamnya rakyat di seluruh dunia terhadap bumi yang semakin panas sebagai katak yang dimasukkan ke dalam air dingin yang secara perlahan dipanaskan. Seandainya katak tersebut langsung diceburkan ke dalam air mendidih, katak itu akan segera meloncat untuk menyelamatkan diri. Namun karena katak dimasukkan ke dalam air dingin dan dipanaskan secara bertahap, katak tampak hanya terdiam, tampak memiliki daya tahan, dan hanya sedikit gelisah. Jika tidak ada tangan yang mengeluarkannya dari air yang perlahan memanas itu, tentu katak akan menjadi katak rebus.
Meminjam judul film yang dibintangi Al Gore tersebut, hidup bagi rakyat kecil sekarang ini tidak lagi nyaman. Masyarakat seolah sedang “dipanaskan” oleh harga-harga yang terus merambat naik. Apakah kita menginginkan masyarakat “terebus” oleh harga-harga yang secara perlahan terus menerus meninggi, sampai tidak lagi terbeli dan semua pihak merugi. Ataukah kita berharap adanya tangan yang menyelamatkan. Tangan tersebut bukan “tangan tidak kelihatan”, melainkan tangan riil yang dapat dilihat dan dirasakan.
Kemiskinan Baru
Pembiaran terhadap melesatnya kenaikan harga bahan kebutuhan pokok di pasar konvensional/tradisional mengakibatkan menurunnya daya beli masyarakat. Penghasilan yang sebelumnya masuk kategori cukup, menjadi tidak mencukupi.
Untuk masyarakat level tertentu, kenaikan harga membuatnya terjatuh ke lubang kemiskinan yang baru menganga. Kondisi ini diperparah oleh struktur masyarakat yang tidak normal. Kelas menengah yang seharusnya sekitar 25-30% dari struktur penduduk, sekarang jauh di bawah angka itu. Kebanyakan masyarakat “menengah” hidup hanya sedikit di atas garis kemiskinan. Level yang amat mudah terpengaruh perubahan harga. Ketika harga melonjak, mereka tergelincir ke bawah garis kemiskinan.
Diamnya pemerintah terhadap pergerakan harga-harga yang terus melesat naik menyebabkan munculnya kemiskinan baru.

Hilangnya Integritas

Selain karena kebijakan politik pemerintah yang terlalu pro-pasar dan investasi, kemiskinan yang tetap meruyak juga disebabkan oleh telah hilangnya integritas dari para pengelola negara.
Sekarang ini hampir tidak ada langkah pemerintah yang sungguh-sungguh mau bergerak menembus ke kedalaman masalah kemiskinan. Aparat pemerintah terlihat hanya berenang-renang di atas arus masalah kemiskinan tanpa mau menukik ke akar masalah dan menyelesaikannya. Hampir dapat dikatakan bahwa tidak ada yang dengan tulus dan fokus, berjuang menyelesaikan masalah kemiskinan untuk kebaikan bangsa.
Alih-alih memberantas kemiskinan dengan sungguh-sungguh, pemerintah malah terlihat cenderung berupaya menutupi kegagalan dengan menetapkan standar garis kemiskinan sedemikian rupa sehingga jumlah rakyat miskin dalam statistik tersebut tampak lebih kecil. Hal ini antara lain terlihat dari perbedaan standar kemiskinan antara pemerintah dan Bank Dunia.
Upaya lain yang pernah dilakukan pemerintah untuk menutupi kegagalan menanggulangi kemiskinan adalah dengan menyajikan data lama meskipun data tersebut sudah tidak sesuai kondisi riil. Hal ini terjadi dalam pidato kenegaraan presiden SBY di depan para wakil rakyat tanggal 16 Agustus 2006. Dalam pidato tersebut, presiden menyebutkan bahwa angka kemiskinan menurun dari 23,4 persen pada tahun 1999 menjadi 16 persen pada tahun 2005 (Kompas, 25/8/2006). Langkah menyajikan data lama sehingga mencitrakan seolah-olah telah berhasil mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran ini tanpa sengaja mengungkap suatu kepura-puraan yang sebelumnya tidak terlihat jelas di mata publik.
Jika memang sungguh-sungguh peduli terhadap penderitaan rakyat, tentu hanya data yang sesuai realitas saja yang disampaikan di “forum rakyat” tersebut. Pelaporan data yang valid ini merupakan keharusan karena berkaitan dengan langkah-langkah penanganan selanjutnya. Dengan data yang tidak sesuai realitas, akan menyesatkan dan berpotensi memunculkan terjadinya kesalahan penanganan.
Alasan, seperti yang dikemukakan Menko Perekonomian Boediono ketika itu (Kompas, 25/8/2006), bahwa data kemiskinan terakhir yang sudah dikeluarkan BPS adalah sampai tahun 2005 sehingga itulah yang dilaporkan, merupakan alasan yang terlihat sebagai akal-akalan saja. Pemerintah ketika itu tentu mengetahui dan sadar bahwa data lama tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi riil.
Dari momen ini, tampak bahwa berapapun jumlah kemiskinan dan pengangguran, bagi pemerintahan sekarang, tidak penting untuk dihiraukan. Yang penting adalah membuat statistik yang “cantik”. Setelah itu, tinggal membuat statemen bahwa pemerintah akan terus berupaya mengurangi kemiskinan dan pengangguran.
Dari peristiwa itu kita melihat bahwa pemerintah terlihat lebih suka mereka-reka angka agar terlihat bagus tanpa peduli bahwa hal itu akan menyesatkan daripada berupaya mewujudkan kesejahteraan rakyat secara nyata. Meskipun peristiwa tersebut sudah berlalu setahun yang lalu, namun tetap layak dijadikan pertanda bahwa kebenaran dan kejujuran terlihat tidak lagi menjadi pegangan dalam kehidupan bernegara di republik ini. Di sinilah, muncul masalah integritas.
Integritas tampak telah tersingkir dari kehidupan bernegara. Kebenaran tidak lagi menjadi pegangan. Banyak para pemegang otoritas terjerumus dalam dekadensi moral. Dalam menyikapi masalah, termasuk masalah kemiskinan, pemerintahan sekarang cenderung “lari dari tanggung jawab” dengan berbagai dalih. Tidak ada lagi orang-orang dalam pemerintahan yang bersikap seperti para founding fathers yang niat, pikiran, dan perkataan mereka selaras dengan perbuatan, yakni, berjuang demi rakyat, bangsa dan negara. Integritas yang begitu berkibar di awal berdirinya republik tersebut, seakan lenyap ditelan keserakahan, kemunafikan, dan tunggang-langgangnya anak manusia dalam memperebutkan kekuasaan, kenikmatan dan kemegahan hidup.
Banyak pejabat negara yang memperlihatkan perhatian terhadap rakyat miskin bukan untuk mengurus, melayani dan mengangkat rakyat dari jurang kemiskinan, melainkan hanya untuk pengelolaan kepentingan politik. Tidak ada upaya untuk benar-benar memberantas kemiskinan. Akibatnya, alih-alih kemiskinan berkurang malah bertambah dengan kemiskinan baru.

Ancaman Bagi terciptanya Demokrasi yang Terkonsolidasi

Tingginya angka kemiskinan menimbulkan akibat negatif bagi demokrasi. Rakyat yang terjerat kemiskinan cenderung apatis terhadap pemerintahan dan juga terhadap proses politik yang berlangsung. Di mata rakyat yang terjerat kemiskinan tidak ada proses politik yang baik. Bagi mereka, proses politik sedemokratis apapun tidak akan mengubah taraf kehidupan mereka menjadi lebih baik. Setiap elit politik yang terpilih dari proses demokratis tersebut, pada akhirnya hanya akan memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Sementara mereka akan tetap menghadapi beratnya beban kehidupan.
Sikap apatis ini pada akhirnya akan menyeret mereka pada pertimbangan-pertimbangan pragmatis. Tidak ada lagi pertimbangan idealis, misalnya, menentukan aliran politik atau memilih tokoh yang diperkirakan akan mau dan mampu mewujudkan kebaikan bersama. Bagi mereka, proses demokrasi tak lebih sebagai saat-saat mendapatkan uang, kaos, atau keuntungan materi lainnya. Mereka benar-benar memanfaatkan proses demokrasi

0 komentar:

Posting Komentar

 
Kumpulan Artikel Lengkap Hendria.com | Blog Tutorial Penamerah.com | My Facebook Hendrik Ka | My Twitter Hendrik Ka | Template by Templateezy | Powered by Blogger