Peran Partai Politik Dalam Mendorong Partisipasi Politik Rakyat

Oleh; Idhar, S.psi

Salah satu hasil dari gerakan reformasi pada medio Mei ’98 yang dipelopori mahasiswa, hadirnya ruang kebebasan politik, dimana rakyat secara bebas untuk menjadi anggota dan mendirikan partai politik baru, diluar partai politik yang ada dan golkar. Kerinduan rakyat akan partai politik baru ini ditangkap oleh kalangan elit politik republik ini, dengan mendirikan partai politik dan menawarkan kembali idiologi-idiologi besar yang pernah tampil dipanggung politik Indonesia dimasa pemilu tahun 1955
. Ada yang menghadirkan kembali ide besar Bung Karno dengan marhaenismenya; idiologi sosialisme ala Indonesia/sosialisme kerakyatan; ada yang mendasarkan pada ikatan-ikatan keagamaan, misalnya Islam, Kristen; selain itu juga yang mencoba bermain-main dengan mendasarkan pada basis konstituen kaum buruh, petani, nelayan, serta kaum miskin kota.
Kebebasan berpartai politik ini terekspresi dengan banyaknya jumlah partai politik, ada sekitar 180 partai baru berdiri, meskipun hanya 142 partai yang dapat didaftarkan, dan hanya 48 yang lolos ikut bertanding dalam pemilu 1999. Pemilu pertama setelah jatuhnya rejim otoriter Soeharto. Uforia rakyat untuk terlibat dalam politik pun, seperti tidak terbendung. Ajang kampaye partai politik dihadiri ribuan/bahkan jutaan simpatisan pendukungnya. Rakyatpun meluapkan kebebasannya dengan melakukan arak-arakan di jalan-jalan raya, sebuah kejadian yang tidak pernah terjadi selama dibawah kekangan kokang senjata rejim Orde Baru selama 32 tahun. Jutaan rakyat tumpah-ruah dan berduyun-duyun menghadiri kampaye yang diadakan partai politik. Rakyat dengan kesadarannya, mendatangi tempat-tempat kampaye untuk mendengarkan para juru kampaye berkotbah, tentang visi kedepan bangsa Indonesia.
Uforia rakyat untuk terlibat dalam aktivitas politik, ini terlihat dari banyaknya massa yang mendatangi kampaye, dan memberikan suaranya dibilik-bilik pemungutan suara, dengan satu harapan pemilihan umum kali ini akan melahirkan sosok pemimpin/wakil rakyat, yang benar-benar memperjuangakan kepentingan rakyat, pemimpin yang bersih dan tidak melakukan tindakan-tindakan seperti yang lazim terjadi di masa Orde Baru, seperti kolusi, korupsi, dan nepotisme. Tidak kurang seratus lima juta lebih rakyat menggunakan hak pilihnya pada pemilihan umum tahun 1999. Terlepas dari segala kritik yang memgikutinya, pemilu tahun 1999, dinilai sukses oleh sebagian besar kalangan, sebagai pemilu yang demokratis kedua setelah pemilu tahun 1955.
Pemilu di tahun 1999, kemudian menghadirkan elit-elit politik baru dalam pentas politik nasional, dan sebagian juga berasal dari elit politik lama, terutama dari partai Golkar. Rakyat kemudian menaruh harapan yang besar pada elit baru yang baru tumbuh, yang diharapkan akan membawa kesejahteraan rakyat dan jauh dari praktek-praktek korupsi. Harapan rakyat yang besar pada wakil-wakilnya yang duduk di lembaga Dewan Perwakilan Rakyat, tidak berbanding lurus dengan tingkah laku para elit partai politik, banyak dari anggota DPR yang terlibat dalam kasus- kasus korupsi, sebagain dari elit partai ini tampil bak orang kaya baru, dengan menggunakan mobil-mobil mewah, bahkan mumcul anekdot “cari mobil mewah, ya di senayan’, gedung DPR menjadi showroom mobil mewah paling lengkap”. Perilaku/gaya hidup yang jauh dari kehidupan konstituen yang mereka wakili.
Perilaku elit partai politik ini kemudian, disikapi secara apatis oleh rakyat, dengan menganggap/memandang secara sinis apapun yang berkaitan dengan politik; banyak argumentasi yang dikemukakan rakyat bahwa politik hanya menjadi urusan perebutan kekuasaan antar elit partai, dan rakyat hanya digunakan untuk menjadi alat dari perebutan kekuasaan semata. Argumentasi yang lebih jauh menunjukkan bahwa politik hanya menjadi permainan bagi segelintir elit partai, yang pada akhirnya hanya menjadi ajang berkarir, dan memperkaya diri sendiri.
Apatisme rakyat akan politik disatu sisi, dengan lemahnya kontrol rakyat akan kebijakan-kebijakan publik yang berkaitan dengan dirinya, rakyat mendapati para wakil-wakilnya tidak pernah memperjuangkan secara nyata beberapa kebijakan yang berimplikasi pada kehidupan rakyat, kebijakan kenaikan BBM, upah buruh yang jauh dari layak, untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, kenaikan harga pupuk dan kelangkaan pupuk yang selalu dialami para petani. Rakyat kemudian bertanya dimana wakil-wakil yang dulu dipilih saat pemilu, sikap lanjut dari apatisme rakyat, melahirkan fenomena yang dikenal sikap antipartai politik, bahwa sudah tidak ada beda lagi antara partai politik yang satu dengan lain, partai hanya hadir menjelang diadakannya perhelatan akbar kampaye, begitu masa kampaye usai, partai-partai kemudian menghilang bak ditelan bumi,
Rakyat; Menjawab Dengan Golput
Pemilu tahun 2004, seakan menjadi hukuman bagi partai politik, dimana pada pemilu tahun ini, jumlah golput mencapai rekor tertinggi sepanjang perhelatan pemilihan umum digelar. Golput yang pada tahun-tahun sebelumnya hanya berkisar pada angka 10%, pada pemilu tahun 2004 menjadi 23,34%, fenomena golput juga semakin meningkat dibeberapa pilkada yang baru digelar Juni 2005, kecenderungan meningkatnya golput berdampak pada jumlah dukungan suara yang masuk kepada masing-masing pasangan calon peserta pilgub dan pilbup atau walikota. Kisaran angka 30% golput saja membuat pasangan peserta tidak akan meraih dukungan di atas 50%. Tidak mengherankan, jika kemenangan baik di pilihan gubernur, pilihan bupati atau walikota lebih banyak mencapai kisaran 40%, bahkan kurang dari 40%. Secara formal, legitimasi kemenangan memang sudah sah. Namun, legimatimasi dukungan masyarakat secara riil menjadi berkurang. Lebih jelasnya suara golput saat pemilu dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Suara Golput Sepanjang Pemilu

Tahun Pemilu
Pemilih Terdaftar
Suara Sah
Golput
Suara
%
Suara
%
1955
43.084.719
37.785.299
87,7
5.299.420
12,3
1971
58.558.776
54.635.338
93,3
3.923.438
6,7
1977
70.670.153
64.733.860
91,6
5.936.293
8,4
1982
82.002.545
74.122.100
90,39
7.880.445
9,61
1987
93.965.953
86.082.210
91,61
7.883.743
8,39
1992
107.565.000
97.789.534
90,9
9.775.466
9,1
1997
125.640.000
112.991.150
89,9
12.648.850
10,1
1999
117.738.000
105.786.661
89,8
11.951.339
10,2
2004
148.000.041
113.456.840
76,66
34.543.201
23,34
Keterangan: Angka Golput = DPT-(pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya + jumlah suara tidak sah).
Apabila menyimak angka-angka dalam tabel di atas menunjukkan bahwa, pelaksanaan pemilihan umum dari waktu ke waktu, jumlah golongan putih (golput) menunjukkan perkembangan yang terus meningkat. Jika pada Pemilu 1955, yang dikenal paling luber dan paling demokratis, tingkat golput mencapai 12,3 persen. Fenomena golput masih belum tinggi di era pemilu orde baru yang rakyatnya masih dimobilisasi dalam pemilu. Pemilu 1971 golput mencapai 6,7 persen, kemudian meningkat menjadi 8,4 persen dalam Pemilu 1977 dan meningkat lagi dalam Pemilu 1982 menjadi 9,61 persen. Dalam Pemilu 1987 turun menjadi 8,39 persen dan meningkat lagi dalam Pemilu 1992 menjadi 9,1 persen, dan 10,1 persen dalam Pemilu 1997. Sedangkan suara golput yang dicapai pada Pemilu 1999, pasca jatuhnya rezim otoriter, angka golput juga masih meningkat, yakni mencapai 10,2% persen. Hal ini bila memasukkan jumlah suara yang tidak sah karena berbagai alasan sebagai suara golput. Pada saat Pemilu 2004 angka golput meningkat tajam menjadi 23,34% persen.
Pertanyaan yang layak diajukan kemudian, bagaimana bisa terjadi perubahan yang begitu cepat sikap rakyat terhadap partai politik dan rendahnya partisipasi politik, rakyat yang ditahun 1999, menyambut secara gegap-gempita hadirnya partai politik baru, dan terlibat secara suka rela untuk mendatangi kampaye dengan berarak-arakan, maupun datang ke bilik-bilik tempat pemungutan suara, untuk memberikan suaranya. Kondisi ini kemudian berbalik pada pemilihan umum tahun 2004. Pertayaan yang lebih lanjut sebenarnya bagaimana peran partai politik ditengah-tengah masyarakat.
Representasi Semu Wakil Rakyat
Pemilu pertama setelah rezim otoriter soeharto, melahirkan sirkulasi elit-elit baru dari pentas politik nasional, lahirnya elit politik baru/para wakil rakyat diharapkan akan membawa kepentingan rakyat yang menjadi konstituennya, selain itu para wakil rakyat ini menjadi representasi dari partai politik, yang lebih jauh sebenarnya merupakan representasi rakyat yang ada di lembaga perwakilan rakyat. Hadirnya elit baru ini dimungkinkan karena salah satu dari fungsi partai politik, yakni rekrutmen politik. dimana partai politik berkewajiban untuk melakukan seleksi dan rekruitmen dalam rangka mengisi posisi dan jabatan politik tertentu. Dengan adanya rekruitmen politik maka dimungkinkan terjadinya rotasi/mobilitas politik. Tanpa rotasi dan mobilitas politik pada sebuah sistem politik, maka akan muncul diktatorisme dan stagnasi politik dalam sistem tersebut.
Hadirnya para wakil rakyat di lembaga perwakilan rakyat, diharapkan membawa kepentingan para konstituennya, dan memperjuangkan apa yang menjadi kehendak rakyat, akan tetapi kehendak ini jauh dari harapan semula, banyak kasus dijumpai para wakil rakyat lebih mengendepankan kepentingan pribadi dan partainya, fenomena penggusuran yang dialami pedagang kaki lima, penggusuran warga stren kali; mencerminkan betapa lemahnya para wakil rakyat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat kecil dan kepentingan kelompok-kelompok marjinal di perkotaan. Ini sekali lagi menunjukkan representasi yang semu para wakil rakyat.
Representasi yang semu dari para wakil rakyat, menunjukkan bahwa para wakil rakyat tidak berangkat dari dukungan rakyat dalam pengertian yang sesungguhnya. Mereka hanya menjadi kepentingan partai politik semata, banyak dari wajah-wajah anggota DPR yang tidak dikenal rakyat, akan tetapi mereka para wakil rakyat sebagai anggota DPR, hanya karena kedekatannya dengan elit partai politik atau memiliki modal financial yang cukup untuk membeli nomor urut pencalegkan, maupun untuk membeli suara pemilih. Secara social para wakil rakyat ini tidak tumbuh dan besar dengan pergumulan rakyat, sehingga menjadi wajar para wakil rakyat tidak pernah memperjuangkan kepentingan rakyat.
Rekrutment politik yang diharapakan sebagai sarana terjadinya rotasi dan mobilitas politik dalam tubuh partai, dimana terjadinya pergantian elit politik lama, dengan elit politik baru, baik secara alamiah maupun sebagai sarana hukuman rakyat terhadap elit. Rakyat sebenarnya berada pada posisi yang sentral dalam proses demokrasi, elit partai yang menjadi anggota DPR yang tidak memperjuangkan kepentingan rakyat, akan dihukum dengan tidak memilihnya lagi pada pemilihan selanjutnya. Tetapi dalam kenyataannya partai politik selalu menghadirnkan elit-elit/caleg yang tidak mengakar pada rakyat, sehingga meskipun dimungkinkan untuk terjadi rotasi politik dalam tubuh partai, rakyat selalu mendapati para pemimpin yang tidak sesuai dengan kehendak rakyat, proses politik ini akan meminimalkan partisipasi politik rakyat, karena tiadanya wakil rakyat yang layak untuk dipilih.
Memperkuat Peran Partai Politik
Partisipasi politik rakyat menjadi elemen yang penting dalam proses demokrasi, tanpa partisipasi politik aktif rakyat, proses pemilihan umum hanya menjadi prosedur demokrasi saja, selain itu minimnya partisipasi politik rakyat, hasil pemilihan umum menjadi lemah/kehilangan legitimasinya. Ada beragam cara untuk mendorong partisipasi politik rakyat; antara lain, Pertama; memperkuat kembali peran dan fungsi partai politik, peran dan fungsi partai politik antara lain sebagai sarana sosialisasi politik, Rekrutmen politik. Partisipasi Politik. Pemadu Kepentingan. Pengendalian Konflik, dan Kontrol politik. Selain itu partai politik memiliki struktur sampai pada tingkat yang paling bawah hingga pada tingkat RW, struktur ini akan efektif sebagai sarana pendidikan politik warga. Partai politik juga menjadi alat yang legal untuk melakukan pendidikan politik, peran-peran ini bila dilakukan secara maksimal akan menggantikan peran LSM dalam melakukan pendidikan politik rakyat. Kedua; memperkuat keterwakilan/representasi wakil-wakil rakyat yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat, partai harus lebih selektif dengan mempertimbangkan banyak aspek untuk menentukan caleg yang akan diajukan pada pemilihan, baik menjadi caleg/calonwalikota, baik kapasitas/kemampuan secara personal juga rekam jejaknya, selain itu aspek representasi ini juga memasukkan unsur kedekatan caleg atau cawawali dengan rakyat, ada kesejarahan antara kandidat yang akan diusung dengan kerja-kerja pendampingan pada rakyat.

catatan kaki
Tema pengatar pada seminar “Peran Partai Politik dalam Mendorong Partisipasi Politik Masyarakat’ yang diselenggarakan LSM “Sinar Rakyat Indonesia“ dan Depdagri, pada Senin 17 Mei 2010; di Surabaya.
Alumni Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, yang sekarang sebagai Direktur PUSDEK (Pusat Studi untuk Demokrasi Ekonomi dan Keadilan Sosial).

0 komentar:

Posting Komentar

 
Kumpulan Artikel Lengkap Hendria.com | Blog Tutorial Penamerah.com | My Facebook Hendrik Ka | My Twitter Hendrik Ka | Template by Templateezy | Powered by Blogger