tag:blogger.com,1999:blog-72405007650666805692024-02-07T10:30:41.114+07:00Ruang PolitikRuang Aspirasi Dan Informasi PolitikUnknownnoreply@blogger.comBlogger12125tag:blogger.com,1999:blog-7240500765066680569.post-35511390383882910692011-02-02T10:19:00.000+07:002011-02-02T10:31:28.739+07:00Bulan Madu Telah Usai<div style="text-align: justify;">Bedeha : Solidaritas Maker Yang Diam.<br />Risma : Administrator Yang Dingin Dan Kaku.<br /><br />Gemuruh drama <a href="http://www.hendria.com/2011/02/bulan-madu-telah-usai.html">politik</a> yang saling serang antara <a href="http://www.hendria.com/2011/02/bulan-madu-telah-usai.html">walikota Surabaya</a><a href="http://www.hendria.com/2011/02/bulan-madu-telah-usai.html"> </a>dengan <a href="http://www.hendria.com/2011/02/bulan-madu-telah-usai.html">DPRD kota</a>, kini memulai babak baru perseteruannya, jika sebelumnya perang tanding melibatkan aksi- aksi demostrasi jalanan, dan saling serang melalui media massa yang dilakukan para serdadu intelektualnya.<br /><br />Kini bola panas perseteruan itu menemui titik genting, rapat pansus mengusulkan pemberhentian walikota Surabaya <a href="http://www.hendria.com/2011/02/bulan-madu-telah-usai.html">Tri Rismaharini</a> karena dianggap telah melanggar UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak dan retribusi daerah, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan Permendagri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah.<br /><br />Enam dari tujuh <a href="http://www.hendria.com/2011/02/bulan-madu-telah-usai.html">fraksi</a> yang ada pada tubuh DPRD Surabaya menyetujui rekomendasi pansus hak angket yakni pemberhentian Walikota Surabaya. Enam fraksi tersebut di antaranya Fraksi PKB, Fraksi Golkar, Fraksi Apkindo, Fraksi PDS, Fraksi Demokrat, dan Fraksi PDIP. Sementara itu satu-satunya fraksi yang menolak rekomendasi pemberhentian Walikota adalah FPKS.<br /><br />Banyak pihak telah menyayangkan konflik yang berlarut-larut walikota dengan DPRD, salah satunya wakil Gubenur Jatim, pria yang akrab dipanggil Gus Ipul, menyayangkan sikap Risma yang tidak cepat menjalin komunikasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan. Lebih lanjut dikatakan "akselerasi yang dilakukan Risma terlalu lamban, harusnya bisa lebih cekatan," ujar Gus Ipul.<br /><br />Tapi nasi sudah jadi bubur, pansus telah merekomendasikan pencopotan Risma dari kursi walikota Surabaya. Sejatinya pasangan yang diusung <a href="http://www.hendria.com/2011/02/bulan-madu-telah-usai.html">PDIP Kota Surabaya </a>ini sudah cukup ideal, kalau meminjam model tipe kepemimpinan Herbert Feith dalam bukunya "The Decline Of Constitutional Democracy In Indonesia" sosok BeDeHa dengan segenap ketrampilan politik dan pengalamannya sebagai walikota dua periode dapat digambarkan sebagai tipe solidarity maker, sebagai sosok pemimpin yang memiliki kecakapan mengelola dan organisator massa, sebagai manipulator symbol- symbol yang memadukan diantara anasir-anasir yang kelompok kepentingan. Jika menelisik jauh kebelakang sosok Bedeha sejatinya mampu mengelola konflik secara elegant, diantara para tokoh <a href="http://www.hendria.com/2011/02/bulan-madu-telah-usai.html">PDIP Surabaya</a>, bedeha dapat dikatakan sebagai tokoh yang paling senior, mengatasi konflik interest dialah jagonya, andai saja sosok yang satu cepat memainkan peranan, konflik perseteruan walikota dengan DPRD akan cepat selesai, menilik pengalamannya yang sudah teruji sekian puluh tahun.<br /><br />Sementara Risma dapat dilekatkan sebagai tipe administrator, pemimpin yang memiliki ketrampilan teknis-administrartif yang diperlukan untuk menjalankan apparatus- apparatus dalam suatu Negara modern, dan karena itu sikap dan jiwanya tertuju pada "problem solving". Ya.. birokrat yang satoe ini layak disematkan sebagai seorang dengan model kepemimpinan administrator, pengalamannya selama puluhan tahun sebagai birokrat mengembangkan pribadinya untuk tampil sebagai administrator tulen, banyak kalangan sebenarnya menginginkan dia tekun bekerja, dan tidak terlibat terlalu jauh dalam domain politik yang bukan bidangnya.<br /><br />Yups.., begitulah pengadaian dalam level teoritis, akan tetapi dalam lapak <a href="http://www.hendria.com/2011/02/bulan-madu-telah-usai.html">politik</a> ide-ide ideal itupun hancur berantakan, hari ini kita mendapati Bedeha yang diam seribu bahasa, momentum yang seharusnya dia tambil ke permukaan dan dengan cepat menyelesaikan kemelut antar kelompok kepentingan tidak dia lakukan, bisa jadi diamnya Bedeha karena domain politik yang menjadi perannya telah diambil alih budhe risma. Kalau kenyataan ini benar, tentu akan mengkonfirmasi bahwa sejatinya duet risma-bambang telah pisah ranjang.<br /><br />Publikpun, mendapati sosok perempuan birokrat telah melangkah jauh dalam domain politik, terlalu kaku dalam bernegoisasi dengan partai- partai yang ada di perlemen, terlalu dominan dalam mengambil peran, tanpa mau berbagi peran dengan wakil walikota. Lihat saja kebijakan-kebijakannya yang dianggap mencederai wong cilik, kebijakan mengenakan pajak pada pedagang kaki lima, kenaikan pajak kos-kosan, ini seakan-akan mengkonfirmasi bahwa budhe risma ini berjalan sendiri, andai saja dia berkonsultasi dengan partai yang mengusungnya pada saat pilwali kemarin PDIP, tentu saja kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat tidak akan sempat terlaunching di media massa, yang memicu kemarahan segenap kader, simpatisan PDIP kota Surabaya.<br /><br />Duet yang terkenal dengan tagline "<a href="http://www.hendria.com/2011/02/bulan-madu-telah-usai.html">Not The Others</a>" pada pilwali tahun lalu, ini akan menjalani hari-hari yang terjal, bila keduanya masih berjalan sendiri- sendiri, bisa saja pemakzulan ini tidak akan dikabulkan MA, tetapi bila dua orang ini masih bersikukuh dengan jalannya masing-masing, bukan tidak mungkin hari-hari kedepan akan semakin terjal, bahkan mungkin DPRD akan menyajikan pansus lain... kini kita berharap Bedeha sebagai solidarity maker memainkan peran yang gagah, dan risma sebagai administrator bekerja lebih giat lagi.<br /><br />By : <a href="http://www.hendria.com/2011/02/bulan-madu-telah-usai.html">Darsono</a>. Direktur Pusat Study Demokrasi Ekonomi Dan Keadilan Sosial (<a href="http://www.hendria.com/2010/06/sedikit-tentang-profileku.html">PUSDEK</a>)</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7240500765066680569.post-24793748996978458512011-01-25T21:20:00.000+07:002011-01-25T21:28:14.198+07:00Don Rozano VS Don BDH<div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Rumor dan politik terkadang kait-mengkait, bagai dua keping mata uang yang sulit untuk dipisahkan, seperti halnya rumor politik yang sedang berhembus kencang dikalangan aktivis Surabaya, rumor pingsannya walikota Surabaya Tri Rismaharini, dikait-kaitkan dengan gempuran politik yang dilakukan DPRD Kota Surabaya yang dikomandani Wisnu Wardhana. Praktis sejak menjabat <a href="http://www.hendria.com/2011/01/don-rozano-vs-don-bdh.html">walikota Surabaya</a> Risma, perempuan yang biasa disapa <i>Emak,</i></span> dikalangan aktivis Surabaya ini tidak pernah sepi dari pemberitaan seputar perseteruannya dengan DPRD Surabaya.<br /><br />Mulai dari konfrontasi soal <a href="http://www.hendria.com/2011/01/don-rozano-vs-don-bdh.html">Tol Tengah Kota</a>, sejak awal walikota Surabaya menolak dengan tegas pembangunan tol tengah kota yang dianggap justru akan memacetkan jalan raya, walikotapun menawarkan mempercepat pembangunan jalan sisi timur dan barat Surabaya sebagai alternative pemecahan kemacetan jalan raya. Konflik semakin mengeras semenjak DPRD kota Surabaya memback-up pembangunan tol tengah kota. Bahkan setiap hari demo tak pernah henti baik yang dilakukan warga yang mendukung tol tengah kota maupun warga yang menolak tol tengah kota.</div><div style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style="font-size: small;">Belum selesai perseteruan soal tol tengah kota, kini rismapun berhadapan dengan DPRD kota Surabaya soal kenaikan pajak papan reklame hingga 100 persen dengan dalih mengejar target Pendapatan Asli Daerah (PAD), perseteruan soal pajak reklame inipun berujung dengan dibentuknya pansus berkaitan dengan Hak Angket tentang proses penyusunan dan penerbitan Perwali No 56 dan 57 Tahun 2010.<br /><br />Kabar yang berhembus dikalangan teman-teman media, ketua <a href="http://www.hendria.com/2011/01/don-rozano-vs-don-bdh.html">DPRD kota Surabaya</a> Wisnu Wardhana, sangat garang melebihi penyindik polri, bahkan terkadang pertayaan-pertayaan yang diajukan tak ada kaitannya dengan terbitnya perwali No 56 dan 57, kini hampir semua pihak yang berkaitan dengan perwali sudah dipanggil, hanya menyisakan walikota yang sedang berharap-harap cemas menanti kegarangan Wisnu Wardhana yang setiap hari mengendari jeep Humveenya.</span></div><div style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style="font-size: small;">Belum usai dengan perseteruannya dengan DPRD Kota Surabaya, Bu Risma juga terlibat konfrontasi dengan actor/orang-orang kuat di Surabaya, sebut saja Pembongkaran reklame di Jalan Margorejo pada 15 Desember 2010 oleh Satpol PP Pemkot Surabaya berbuntut panjang, papan reklame yang diketahui milik Ir H La Nyalla Mattaliti, menuai somasi dan pelaporan 99 pengacara ke <a href="http://www.hendria.com/2011/01/don-rozano-vs-don-bdh.html">Polda Jawa Timur</a>. Pelaporan 99 pengacara masih menanti kedatangan Risma di Polda jatim. Tak henti bertarung dengan dengan actor di luar pagar Bu risma kini juga berhadapan diinternal birokrasi sendiri, tak lain soal mutasi dijajaran pemkot yang dituding menggunakan tanda tangan sekkota palsu yang berbuntuk pelaporan BK/Anggota DPRD kota Surabaya ke Polda Jatim.</span></div><div style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style="font-size: small;">Seakan tak henti membangun perseteruan, beberapa waktu lalu walikota memerintahkan pengosongan mess persebaya, yang ditempati persebaya 1927 yang dikomandani Saleh Ismail Mukadar yang merupakan seteru Risma saat merebutkan tiket pilwali dari <a href="http://www.hendria.com/2011/01/don-rozano-vs-don-bdh.html">PDIP Kota Surabaya</a>, saleh sendiri diketahui sebagai salah satoe orang kuat dan memiliki ikatan emosional dengan bonek, konflik ini mereda setelah ribuan supporter bonek meluruk Risma di balaikota. Walikotapun menjanjikan tidak akan/tidak mengosongkan mess persebaya.<br /><br /></span></div><div style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style="font-size: small;">Semenjak dilantik praktik public Surabaya hanya disuguhi konflik Risma dengan DPRD dengan aneka persoalan, salah satoe persoalan yang masih akan menganjal lagi berkaitan/rencana reklamasi pantai di sepanjang pesisir Surabaya seluas 230 hektar, ada 4ribu KK yang bakal tergusur bila proyek reklamasi ini diteruskan, konon kabar yang berhempus dikalangan pendamping-pendamping lapangan. Reklamasi ini ini akan dibuat perumahan mewah lengkap dengan kapal-kapal yard di dermaga depan rumah, untuk yang satoe ini Risma bakal tidak mampu menawar lagi, salah satu sumber dikalangan pendamping warga menyebutkan, reklamasi ini merupakan bagian dari konsesi pada saat pilwali kemarin, kontraktor yang akan membangun ini merupakan pendonor terbesar pada kampaye risma.</span></div><div style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style="font-size: small;">Ditengah terpaan badai politik yang kencang, risma seakan berjalan sendirian, dimana wakil walikota sebagai sandaran politiknya, ditetahui wakil walikota Surabaya Bambang Dwi Hartono sebagai salah satu tokoh PDIP Surabaya yang dikenal dekat dengan Megawati, sepanjang konflik tidak pernah mengeluarkan statement sedikitpun media, seakan hilang ditelan bumi, mungkinkkah tokoh yang satu ini sedang bersembunyi, sambil menunggu waktu yang pas untuk berselanjar di atas gelombang politik yang sedang bergemuruh, dan tampil dipanggung politik untuk mengambil alih Surabaya satu. Public masih mengunggu kira-kira apa yang akan dilakukan oleh pria yang biasa disebut BDH. </span></div><div style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style="font-size: small;">Sebagai seorang politisi kawakan, tentu saja BDH tidak akan tinggal diam, kepiawiannya berpolitik sudah tidak ada yang mampu menyanggkal lagi, bahkan teman-teman seangkatan di PDIP Surabaya, Dialah yang paling moncer bermain politik, hampir semua teman-teman seangkatan/semasa perjuangan dulu, jatuh berguguran mulai dari Basuki Cs, AH Thony, Nanang Budi, sampai kemampuannya untuk melipat teman akrab-nya Saleh Ismail Mukadar. Orang mungkin tidak akan menyanggka bahwa Bang Saleh dengan mudah ditekuk pada saat perebutan rekom <a href="http://www.hendria.com/2011/01/don-rozano-vs-don-bdh.html">walikota dari PDIP</a>… iya politisi sebesar dan sekuat abang saleh harus tersungkur dengan sekali jabs..</span></div><div style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style="font-size: small;">Pertayaan yang mengelitik dikalangan media/aktivis jalanan, “siapa sebenarnya dibelakang Risma sehingga begitu berani berkonfrontasi dengan DPRD, partai pendukungnya, dan orang-orang kuat Surabaya,? Dari rumor jalanan berhembus Risma saat ini diback up kolega- kolega di ITS, terutama oleh <i>Enciety</i> sebagai serdadu intelektualnya, sebuah lembaga <i>think thank</i> yang dikomandai Kresnayahya seorang pakar statistic, yang sejak pemilihan walikota secara terbuka memback-up Risma dengan lembaga Encietynya.<br /><br />Selain itu professor-profesor ITSpun pasang badan untuk membela risma, bahkan beberapa waktu lalu mereka berdemo mendatangi gedung DPRD untuk menolak pembangunan tol tengah kota, Belum cukup dengan sardadu intelektual, salah satu back–up politik Risma, yang saat ini menjadi staff ahlinya adalah <a href="http://www.hendria.com/2011/01/don-rozano-vs-don-bdh.html"><b>Don Rozano</b></a>. Pria ini dikenal sebagai orang yang piawai bermain politik, muncul penyataan satir “siapapun walikotanya, Don Rozano menjadi staff ahlinya, pria yang dikenal cukup dekat dengan pengusaha-pengusaha besar, terutama kontraktor-kontraktor alumni ITS. “Don panggilan akbrab pria, yang merupakan alumni ITS menjadi operator politik dari gank politik ITS. Pria ini kerap dituding sebagai dalang dari semua pengambilan kebijakan yang dikeluarkan Risma, bahkan beberapa waktu lalu, Saleh Ismail Mukadar menuding amburadulnya kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan risma buah tangan dari campur tangan Don yang dinggap terlalu jauh mencampuri urusan kota.</span></div><div style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style="font-size: small;">Kini public masih menunggu peran politik apa yang akan dikeluarkan oleh Don Rozano dengan segenap ketrampilan politiknya, dan sumber dana tak terpabas dari kolega-koleganya di ITS. Tapi pblik juga akan mencermati kartu truf apa yang akan dikeluarkan oleh BDH, public hanya menunggu irama permainan dua don Surabaya, Don Rozano Vs <a href="http://www.hendria.com/2011/01/don-rozano-vs-don-bdh.html">Don BDH</a>….semoga apa yang mereka lakukan tidak sampai mencederai demokrasi…amien… </span></div><div style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"><br /></span></div><div style="text-align: justify;" class="MsoNormal"><span style="font-size: small;"> By : Darsono/ Idhar. Direktur PUSDEK Surabaya</span></div>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7240500765066680569.post-4619535928183324852010-07-20T04:36:00.000+07:002011-01-22T14:33:58.266+07:00Kampanye Kelas MenengahDalam konteks <a href="http://www.hendria.com/2010/07/kampanye-kelas-menengah.html">masyarakat perumahan</a><br />Oleh : Hendri Ansori<br />1. Kondisi kehidupan masyarakat di perumahan secara umum<br />Beberapa ciri-ciri <a href="http://www.hendria.com/2010/07/kampanye-kelas-menengah.html">masyarakat perumahan</a> adalah masyarakat yang anggota-anggotanya terdiri dari manusia kelas menengah baik tingkatan hidup, pendidikan, dan lain-lain. Masyarakt perumahan memiliki sifat-sifat yang tampak menonjol yaitu:<br />• Aktivitas<br />Pada umumnya mereka merupakan kelompok masyarakat yang memiliki aktivitas tinggi, dalam waktu 24 jam pada hari Senin<div style="text-align: justify;" class="fullpost">s/d Jumat, 8 jam/hari dimulai pada jam 7.00 sampe jam 17.00 mereka gunakan sebagai bekerja, sementara itu 3 jam berikutnya digunakan sebagai aktivitas tambahan ( pertemuan bisnis, rapat nonformal, dll ), waktu sisa dari tersebut diatas digunakan untuk istirahat, hal ini karena hari berikutnya akan melakukan aktivitas yang sama dan terus menerus sampai hari Sabtu. Untuk hari minggu atau hari libur yang lain digunakan sebagai aktivitas dengan keluarga. Sehingga dari hal tersebut diatas, masyarakat perumahan tidak memiliki waktu senggang untuk aktivitas selain hal tersebut diatas.<br />• Segi Ekonomi<br />Tingkat Ekonomi masyarakat yang hidup di perumahan tergolong Middle Class atau kelas menengah, yang mana mereka merupakan sekelompok masyarakat yang memiliki pendapatan diatas rata-rata pendapatan yang dimiliki masyarakat perkampungan, mereka beranggapan bahwa dirinya mampu melakukan apapun dengan keadaan ekonominya, sehingga pekerjaan lain seperti kebersihan, keamanan, dan teknis bisa dilakukan dengan membayar orang, juga dengan keadaan ekonominya mereka cenderung bersifat konsumeris dan juga prktis.<br />• Segi Pendidikan<br />Masyarakat yang hidup di perumahan pada tingkatan pendidikan yakni pendidikan tinggi (perguruan tinggi), pengetahuan hukum, adsministrasi, pengetahuan umum, informasi dari media (koran) yang memadai. sehingga kepekaan terhadap situasi mampu dicerna dan disikapi sesuai dengan kemampuannya, serta kesadaran terhadap administrasi juga sangat tinggi. Dan partisipasi terhadap politik juga tinggi.<br />• Sikap keseharian<br />Sikap kehidupan masyarakat perumahan cenderung pada individuisme/egoisme yaitu masing-masing anggota masyarakat ( keluarga ) berusaha sendiri-sendiri tanpa terikat oleh anggota masyarakt lainnya, hal mana menggambarkan corak hubungan yang terbatas, dimana setiap individu mempunyai otonomi jiwa atau kemerdekaan untuk melakukan apa yang mereka inginkan.<br />• Terhadap budaya<br />Cara berpikir mereka bergerak maju mempunyai sifat kreatif, dinamis. Dari segi budaya masyarakat perumahan umumnya mempunyai tingkatan dinamika kehidupan yang lebih cepat menerima yang baru atau membuang sesuatu yang lama, lebih cepat menerima mode-mode dan kebiasaan-kebiasaan baru. Kedok peradaban yang diperolehnya ini dapat memberikan sesuatu perasaan harga diri yang lebih tinggi, jauh berbeda dengan seni budaya dalam masyarakat perkampungan yang bersifat statis. Derajat kehidupan masyarakt perumahan beragam dengan corak sendiri-sendiri. serta cenderung pada sifat materialistis. Akibat dari sikap hidup yang individualisme dan pandangan hidup yang dinamis menyebabkan masyarakat perumahan lemah dalam segi kebersamaan, pergaulan sosial.<br /><br />Berdasarkan paparan diatas maka masyarakat perumahan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:<br />- Ekonomi menegah dan tinggi<br />- Individualis, peka terhadap mode, gaya hidup.<br />- Cenderung mengikuti mode terbaru<br />- Tingkat pendidikan tinggai<br />- Terdapat berbagai variasi pekerjaan<br />- Norma-norma yang berlaku tidak terlalu mengikat<br /><br />2. Beberapa kampanye yang bisa diterapkan<br />Dari beberapa point uraian diatas secara keseluruhan membutuhkan strategi kampanye yang khusus, artinya hal perlakuan kampanye masyarakat perumahan tidak bisa disamakan dengan masyarakat perkampungan dengan mengacu pada pandangan umum tersebut, ada beberapa langkah kampanye yang cukup efektif untuk dilakukan.<br />1. Kampanye dialogis<br />Kampanya ini bisa dilakukan dengan kerjasama antara pihak yang bersangkutan (team kampanye) dengan perangkat kelurahan seperti RT/RW, karang taruna, dan satpam setempat, secara formal perangkat kelurahan yang mengumpulkan warganya dengan mengadakan suatu acara tertentu (rapat RT/RW, Pembentukan panitia acara dll), dari hal tersebut calon tertentu sebagai pembuka acara atau bahkan sebagai narasumber).<br />2. Kampanye media<br />Dalam konteks ini dapat dilakukan dengan pembuatan buku kecil yang berisikan tentang calon (Profile calon, prestasi calon, Visi-misi), buku kecil ini disebarkan door to door di setiap perumahan. Secara teknis dilakukan oleh team kampanya atau orang lain yang mampu melakukannya seperti kloper Koran, pedagang sayur dan makanan keliling, yang pada prinsipnya mereka setiap hari berinteraksi dengan orang di perumahan tersebut, atau juga bisa melalui pos yang dialamatkan ke setiap rumah dalam sevuah perumahan.<br />Terima kasih …!</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;" class="post-share-buttons"> <a class="share-button sb-email" href="share-post.g?blogID=7673744021661795&postID=997914904475892765&target=email" target="_blank" title="Email This"> <span class="share-button-link-text"></span></a><a class="share-button sb-buzz" href="share-post.g?blogID=7673744021661795&postID=997914904475892765&target=buzz" onclick="'window.open(this.href," height="415,width="690" target="_blank" title="Share to Google Buzz"><span class="share-button-link-text"><br /></span></a> </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7240500765066680569.post-63985726942538569662010-07-16T01:17:00.001+07:002010-07-16T01:17:58.807+07:00Bangsa Kaya yang Miskin<div style="text-align: justify;">Kemiskinan masih merupakan masalah besar bagi Indonesia. Hasil penelitian BPS menyebutkan bahwa hingga maret 2007 masih ada 37 juta lebih rakyat Indonesia yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Sementara Bank Dunia tahun 2006 menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin Indonesia lebih dari 39 juta.</div><div style="text-align: justify;">Kesadaran akan perlunya <a href="http://www.hendria.com/2010/05/bangsa-kaya-yang-miskin.html">pemberantasan kemiskinan</a> yang mulai mengemuka sejak pertengahan tahun 1970-an, yaitu dengan mulai disadarinya keharusan melakukan pemerataan hasil-hasil pembangunan, ternyata tidak berhasil menyelesaikan masalah tersebut. Alih-alih terselesaikan, kemiskinan malah meledak saat terjadinya krisis ekonomi satu dasawarsa yang lalu.</div><div style="text-align: justify;">Nyatanya, setelah sepuluh tahun pemerintahan di era reformasi, kemiskinan masih menjadi masalah besar. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apa penyebab gagalnya penanggulangan kemiskinan. Adakah akibat negatif jika masalah kemiskinan tetap tidak bisa diselesaikan.</div><div class="fullpost" style="text-align: justify;">Kebijakan Politik Pro Pasar dan Investasi<br />Salah satu faktor penting dari gagalnya pemberantasan kemiskinan adalah kebijakan politik pemerintah tidak memihak penduduk miskin. Hampir setiap periode, pemerintah terlihat tidak secara sungguh-sungguh memperjuangkan peningkatan kesejahteraan kaum miskin. Rezim Orde Baru misalnya, lebih memfokuskan diri pada pertumbuhan ekonomi. Meskipun pada saat itu dibuat berbagai kebijakan penanggulangan kemiskinan, misalnya Instruksi Presiden (INPRES) , namun program tersebut dan program lainnya tidak mampu menyelesaikan masalah kemiskinan secara tuntas. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi ketika itu diwarnai oleh tetap adanya kemiskinan dengan jumlah yang cukup signifikan .<br />Rezim-rezim di era reformasi pun tidak memperlihatkan kebijakan yang pro rakyat miskin (pro-poor). Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan terlihat berada di sisi ekstrim dalam hal kebijakan yang tidak pro-poor ini. Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu amat pro pasar dan investasi.<br />Posisi pemerintahan SBY yang amat pro-pasar terlihat paling jelas pada sikap terhadap kenaikan harga-harga. Setiap terjadi kenaikan harga-harga kebutuhan pokok masyarakat disikapi pemerintah sebagai perubahan normal. Bagi pemerintah, kenaikan harga merupakan hasil mekanisme pasar yang wajar. Karena itu pemerintah merasa tidak perlu melakukan langkah-langkah signifikan dalam menyikapinya.<br />Disini terlihat bahwa pemerintah amat loyal terhadap pasar. Karena itu, pemerintahan Presiden SBY sekarang ini kiranya dapat dikatakan menganut mazhab neoliberalisme . Selaras dengan mazhab yang dianutnya tersebut, pemerintah terlihat amat membatasi langkahnya sendiri sehingga kalaupun melakukan intervensi, hal itu dilakukan dengan amat minimal .<br />Pemerintah (yang neolib ini) yakin bahwa dengan dinamika dan logika pasar, masyarakat akan mampu bertahan. Di sisi lain, pemerintah tampaknya meyakini bahwa jika suatu negara ingin mencapai kemajuan ekonomi, maka peran negara harus diminimalisir seraya memberikan keleluasaan bergerak dan otonomi bagi dunia usaha. Meskipun diperlukan, peranan pemerintah harus dibatasi. Alasannya, apa yang bisa dikerjakan oleh pemerintah dapat dikerjakan oleh swasta secara lebih efisien. Selain itu, terdapat keyakinan klasik yang beranggapan bahwa pasar dapat memperbaiki dirinya sendiri jika mengalami krisis.<br />Sikap ini amat beresiko dan memungkinkan munculnya anarkisme pasar. Banyak bukti memperlihatkan bahwa invisible hand hanya ilusi. Pasar, telah terbukti tidak memiliki mekanisme bagi terjadinya pemerataan hasil-hasil kegiatan ekonomi. Keyakinan akan adanya “tangan tidak kelihatan” yang akan memeratakan hasil-hasil kegiatan ekonomi dan membuat tatanan masyarakat yang seimbang hanyalah isapan jempol belaka. Yang nyata adalah korban yang berjatuhan akibat pasar yang anarkis, termasuk anarkisme pasar konvensional yang menjual bahan kebutuhan pokok masyarakat dengan harga liar.<br />Katak dalam Air yang Dipanaskan<br />Celakanya, masyarakat sekarang ini cenderung semakin pasif terhadap setiap kenaikan harga barang kebutuhan pokok. Masyarakat cenderung bersikap diam seakan dapat menerima kenyataan harga-harga yang terus merangkak naik. Apakah fenomena ini menggambarkan bahwa masyarakat benar-benar dapat menerima setiap kenaikan harga tersebut?<br />Berkaitan dengan hal ini penulis teringat perumpamaan yang dipakai Al Gore dalam film An Inconvenient truth . Mantan Wapres Amerika Serikat yang menjadi aktivis antipemanasan global dan peraih Hadiah Nobel Perdamaian tahun 2007 ini mencontohkan diamnya rakyat di seluruh dunia terhadap bumi yang semakin panas sebagai katak yang dimasukkan ke dalam air dingin yang secara perlahan dipanaskan. Seandainya katak tersebut langsung diceburkan ke dalam air mendidih, katak itu akan segera meloncat untuk menyelamatkan diri. Namun karena katak dimasukkan ke dalam air dingin dan dipanaskan secara bertahap, katak tampak hanya terdiam, tampak memiliki daya tahan, dan hanya sedikit gelisah. Jika tidak ada tangan yang mengeluarkannya dari air yang perlahan memanas itu, tentu katak akan menjadi katak rebus.<br />Meminjam judul film yang dibintangi Al Gore tersebut, hidup bagi rakyat kecil sekarang ini tidak lagi nyaman. Masyarakat seolah sedang “dipanaskan” oleh harga-harga yang terus merambat naik. Apakah kita menginginkan masyarakat “terebus” oleh harga-harga yang secara perlahan terus menerus meninggi, sampai tidak lagi terbeli dan semua pihak merugi. Ataukah kita berharap adanya tangan yang menyelamatkan. Tangan tersebut bukan “tangan tidak kelihatan”, melainkan tangan riil yang dapat dilihat dan dirasakan.<br />Kemiskinan Baru<br />Pembiaran terhadap melesatnya kenaikan harga bahan kebutuhan pokok di pasar konvensional/tradisional mengakibatkan menurunnya daya beli masyarakat. Penghasilan yang sebelumnya masuk kategori cukup, menjadi tidak mencukupi.<br />Untuk masyarakat level tertentu, kenaikan harga membuatnya terjatuh ke lubang kemiskinan yang baru menganga. Kondisi ini diperparah oleh struktur masyarakat yang tidak normal. Kelas menengah yang seharusnya sekitar 25-30% dari struktur penduduk, sekarang jauh di bawah angka itu. Kebanyakan masyarakat “menengah” hidup hanya sedikit di atas garis kemiskinan. Level yang amat mudah terpengaruh perubahan harga. Ketika harga melonjak, mereka tergelincir ke bawah garis kemiskinan.<br />Diamnya pemerintah terhadap pergerakan harga-harga yang terus melesat naik menyebabkan munculnya kemiskinan baru.<br /><br />Hilangnya Integritas<br /><br />Selain karena kebijakan politik pemerintah yang terlalu pro-pasar dan investasi, kemiskinan yang tetap meruyak juga disebabkan oleh telah hilangnya integritas dari para pengelola negara.<br />Sekarang ini hampir tidak ada langkah pemerintah yang sungguh-sungguh mau bergerak menembus ke kedalaman masalah kemiskinan. Aparat pemerintah terlihat hanya berenang-renang di atas arus masalah kemiskinan tanpa mau menukik ke akar masalah dan menyelesaikannya. Hampir dapat dikatakan bahwa tidak ada yang dengan tulus dan fokus, berjuang menyelesaikan masalah kemiskinan untuk kebaikan bangsa.<br />Alih-alih memberantas kemiskinan dengan sungguh-sungguh, pemerintah malah terlihat cenderung berupaya menutupi kegagalan dengan menetapkan standar garis kemiskinan sedemikian rupa sehingga jumlah rakyat miskin dalam statistik tersebut tampak lebih kecil. Hal ini antara lain terlihat dari perbedaan standar kemiskinan antara pemerintah dan Bank Dunia.<br />Upaya lain yang pernah dilakukan pemerintah untuk menutupi kegagalan menanggulangi kemiskinan adalah dengan menyajikan data lama meskipun data tersebut sudah tidak sesuai kondisi riil. Hal ini terjadi dalam pidato kenegaraan presiden SBY di depan para wakil rakyat tanggal 16 Agustus 2006. Dalam pidato tersebut, presiden menyebutkan bahwa angka kemiskinan menurun dari 23,4 persen pada tahun 1999 menjadi 16 persen pada tahun 2005 (Kompas, 25/8/2006). Langkah menyajikan data lama sehingga mencitrakan seolah-olah telah berhasil mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran ini tanpa sengaja mengungkap suatu kepura-puraan yang sebelumnya tidak terlihat jelas di mata publik.<br />Jika memang sungguh-sungguh peduli terhadap penderitaan rakyat, tentu hanya data yang sesuai realitas saja yang disampaikan di “forum rakyat” tersebut. Pelaporan data yang valid ini merupakan keharusan karena berkaitan dengan langkah-langkah penanganan selanjutnya. Dengan data yang tidak sesuai realitas, akan menyesatkan dan berpotensi memunculkan terjadinya kesalahan penanganan.<br />Alasan, seperti yang dikemukakan Menko Perekonomian Boediono ketika itu (Kompas, 25/8/2006), bahwa data kemiskinan terakhir yang sudah dikeluarkan BPS adalah sampai tahun 2005 sehingga itulah yang dilaporkan, merupakan alasan yang terlihat sebagai akal-akalan saja. Pemerintah ketika itu tentu mengetahui dan sadar bahwa data lama tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi riil.<br />Dari momen ini, tampak bahwa berapapun jumlah kemiskinan dan pengangguran, bagi pemerintahan sekarang, tidak penting untuk dihiraukan. Yang penting adalah membuat statistik yang “cantik”. Setelah itu, tinggal membuat statemen bahwa pemerintah akan terus berupaya mengurangi kemiskinan dan pengangguran.<br />Dari peristiwa itu kita melihat bahwa pemerintah terlihat lebih suka mereka-reka angka agar terlihat bagus tanpa peduli bahwa hal itu akan menyesatkan daripada berupaya mewujudkan kesejahteraan rakyat secara nyata. Meskipun peristiwa tersebut sudah berlalu setahun yang lalu, namun tetap layak dijadikan pertanda bahwa kebenaran dan kejujuran terlihat tidak lagi menjadi pegangan dalam kehidupan bernegara di republik ini. Di sinilah, muncul masalah integritas.<br />Integritas tampak telah tersingkir dari kehidupan bernegara. Kebenaran tidak lagi menjadi pegangan. Banyak para pemegang otoritas terjerumus dalam dekadensi moral. Dalam menyikapi masalah, termasuk masalah kemiskinan, pemerintahan sekarang cenderung “lari dari tanggung jawab” dengan berbagai dalih. Tidak ada lagi orang-orang dalam pemerintahan yang bersikap seperti para founding fathers yang niat, pikiran, dan perkataan mereka selaras dengan perbuatan, yakni, berjuang demi rakyat, bangsa dan negara. Integritas yang begitu berkibar di awal berdirinya republik tersebut, seakan lenyap ditelan keserakahan, kemunafikan, dan tunggang-langgangnya anak manusia dalam memperebutkan kekuasaan, kenikmatan dan kemegahan hidup.<br />Banyak pejabat negara yang memperlihatkan perhatian terhadap rakyat miskin bukan untuk mengurus, melayani dan mengangkat rakyat dari jurang kemiskinan, melainkan hanya untuk pengelolaan kepentingan politik. Tidak ada upaya untuk benar-benar memberantas kemiskinan. Akibatnya, alih-alih kemiskinan berkurang malah bertambah dengan kemiskinan baru.<br /><br />Ancaman Bagi terciptanya Demokrasi yang Terkonsolidasi<br /><br />Tingginya angka kemiskinan menimbulkan akibat negatif bagi demokrasi. Rakyat yang terjerat kemiskinan cenderung apatis terhadap pemerintahan dan juga terhadap proses politik yang berlangsung. Di mata rakyat yang terjerat kemiskinan tidak ada proses politik yang baik. Bagi mereka, proses politik sedemokratis apapun tidak akan mengubah taraf kehidupan mereka menjadi lebih baik. Setiap elit politik yang terpilih dari proses demokratis tersebut, pada akhirnya hanya akan memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Sementara mereka akan tetap menghadapi beratnya beban kehidupan.<br />Sikap apatis ini pada akhirnya akan menyeret mereka pada pertimbangan-pertimbangan pragmatis. Tidak ada lagi pertimbangan idealis, misalnya, menentukan aliran politik atau memilih tokoh yang diperkirakan akan mau dan mampu mewujudkan kebaikan bersama. Bagi mereka, proses demokrasi tak lebih sebagai saat-saat mendapatkan uang, kaos, atau keuntungan materi lainnya. Mereka benar-benar memanfaatkan proses demokrasi</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7240500765066680569.post-46009183854067941282010-07-16T01:15:00.000+07:002010-07-16T01:16:05.545+07:00Teori Politik Machiavelli<div style="text-align: justify;">Inti pemikiran politik Machiavelli adalah kekuasaan, bagaimana kekuasaan ini diraih dan dipertahankan. Sumber <a href="http://www.hendria.com/2010/05/teori-politik-machiavelli.html">kekuasaan bagi Machiavelli</a> adalah negara, oleh karena itu negara dalam pandangannya memiliki kedaulatan dan kedudukan tertinggi. Namun pemikirannya mengenai bentuk negara ini bukanlah negara demokrasi seperti yang sedang menjadi kecenderungan sekarang ini. Yang menjadi perhatian Machiavelli tentang bentuk negara ini adalah, kekuasaan despotik, kolonial, dan aneksasi. Pemikiran ini tampaknya sudah tidak bisa dipakai karena sangat bertentangan dengan demokrasi dan kesamaan derajat antara bangsa-bangsa. Selain itu, sebagian pemikirannya tampak diwarnai ide kekerasan, kelicikan, dan egoisme dalam rangka meraih dan mempertahankan kekuasaan. Namun apakah seluruh pemikirannya sudah tidak sesuai zaman dan tidak terpakai lagi. Apakah sebenarnya masih ada, paling tidak unsur-unsur pemikirannya yang masih bisa diterapkan dalam praktek negara demokrasi. </div><div style="text-align: justify;" class="fullpost">Sebenarnya tidak seluruh pemikiran Machiavelli tidak terpakai lagi. Banyak unsur-unsur pemikirannya yang bisa diterapkan dalam praktek negara demokrasi. Tentu saja ajaran-ajarannya tentang kekerasan seperti menumpas habis seluruh keluarga penguasa lama, bertindak jahat jika diperlukan, sudah tidak bisa dipraktekan lagi. Namun ajaran-ajaran lainnya dalam hal strategi untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan, sejauh masih dalam koridor peraturan perundangan yang berlaku, tentu saja masih layak untuk dipraktekkan.<br /><br />Meraih Kekuasaan<br />Kekuasaan menurut Machiavelli merupakan alat yang mengabdi pada kepentingan negara. Kekuasaan, dalam hal ini kekuasaan militer, juga merupakan dasar negara yang utama, bahkan melampaui hukum. Oleh karena itu, ajaran Machiavelli dinamakan ajaran tentang “kepentingan Negara” (staatraison). Jadi, negara adalah tujuan akhir dari kekuasaan. Bahkan demi tujuan akhir tersebut, Machiavelli mengabaikan tujuan-tujuan lainnya, seperti keadilan, kebebasan, dan kebaikan bagi warga negara. Hal ini tentu saja tidak sejalan dengan etika kekuasaan di negara demokrasi dimana rakyat adalah tema sentral dari kekuasaan.<br /><br />Namun ada unsur pemikiran Machiavelli yang masih relevan dengan konteks negara demokrasi, yaitu, dalam hal bagaimana meraih kekuasaan. Seseorang dapat meraih kekuasaan, menurut Machiavelli apabila dalam dirinya terdapat dua hal, yaitu, keberuntungan (fortuna) dan kecerdikan (virtu). Keberuntungan menentukan separuh dari dapat diraihnya kekuasaan, separuh lainnya, atau hampir sebanyak itu, ditentukan oleh kecerdikan individu tersebut. Digambarkan olehnya bahwa manusia harus mempersiapkan diri dengan virtunya agar ketika “banjir” keberuntungan itu datang, dia telah siap untuk menghadapinya dan menggunakan keberuntungan tersebut sebaik-baiknya demi meraih kekuasaan.<br /><br />Ada kecenderungan bahwa orang yang kekuasaannya lebih didasarkan pada kecerdikan, lebih kuat kedudukannya. Semakin orang tidak mengandalkan keberuntungan, akan semakin kuat kedudukannya. Sebaliknya, orang yang meraih kekuasaan lebih karena keberuntungan sehingga didapatkannya tanpa usaha keras, akan mengalami kesulitan besar dalam usahanya mempertahankan kekuasaan.<br /><br />Mempertahankan Kekuasaan<br />Dalam era demokrasi pun banyak unsur pemikiran Machiavelli tentang mempertahankan kekuasaan yang layak untuk dipakai, namun tentunya dengan penyesuaian berupa penghalusan cara-cara tindakan. Misalnya, pemikirannya tentang seorang penguasa harus mengetahui bagaimana menggunakan sifat manusia dan sifat binatang, dan bahwa menggunakan salah satu tanpa yang lainnya tidak akan dapat bertahan. Kedua sifat ini memang harus dimiliki penguasa. Dalam hal sifat binatang, Machiavelli mengatakan bahwa seorang penguasa harus menjadi rubah agar mengenal perangkap-perangkap dan menjadi singa untuk menghalau serigala-serigala. Jelas sifat ini perlu dimiliki penguasa sebab dalam politik di era demokrasi ini terdapat banyak perangkap-perangkap dan ancaman-ancaman dari lawan-lawan politik. Sifat binatang ini hanya dipakai apabila terdapat ancaman bagi kelangsungan kekuasaan, diluar kondisi itu, penguasa sepatutnya kembali bersifat manusia. Untuk menghindari datangnya perangkap dan ancaman, dapat diantisipasi dengan beberapa cara, misalnya, tidak menambah kekuasaan seseorang (bawahan) yang sudah kuat, tidak memasukkan orang yang terlalu kuat ke dalam jajaran kabinet, kalau seandainya ada seseorang yang menjadi terlalu kuat di dalam kabinet sehingga berpotensi melampaui kekuasaannya, sebaiknya diberhentikan.<br /><br />Pemikiran Machiavelli lainnya yang masih layak dipakai dalam praktek negara demokrasi adalah berupa nasehat-nasehat. Tentang hubungannya dengan militer, Machiavelli mengatakan bahwa seorang penguasa ideal ialah seorang penguasa yang harus sanggup menjadi panglima militer yang cakap dan trampil serta yang benar-benar dapat mengendalikan angkatan perang dengan baik. Penguasa dalam negara demokrasi adalah juga seorang panglima tertinggi dalam angkatan perang, maka penguasa harus bisa menunjukkan perannya dan bisa mengendalikan militer sebaik-baiknya. Selain itu, penguasa yang kuat adalah mereka yang mempunyai pasukan yang besar atau bisa menghimpun angkatan perang yang mampu menghadapi setiap ancaman kedaulatan negara.</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7240500765066680569.post-20244930960937267892010-07-16T01:12:00.000+07:002010-07-16T01:14:14.262+07:00Mengapa Orde Baru Ditolak?• Kebijakan pembangunan yang berorientasi pertumbuhan, membentuk lapisan elit (ekonomi-politik) dan melahirkan kesenjangan.<br />• Menciptakan regulasi, yang mendorong pemodal swasta asing dan domestik menikmati kemudahan-kemudahan, perlindungan dan preferensi negara, ekonomi rente yang melahirkan suap, korupsi, dan kolusi.<br />• Pemerintah yang selalu mengeluarkan kebijakan manipulatif dan menipu rakyat karena kekhawatiran atas ketidakpuasan rakyat.<br />• Dengan kekuatan militernya, menekan rakyat dengan dalih stabilitas politik, serta praktek-praktek pelanggaran HAM.<br />• Menyingkirkan rakyat dari keterlibatan politik.<br />• Terbentuknya pemusatan dan totalitas kekuasaan.<div style="text-align: justify;" class="fullpost">Masalah Yang Dihadapi Orde Baru?<br />• Pertumbuhan ekonomi dan pemanfaatan <a href="http://www.hendria.com/2010/05/mengapa-orde-baru-ditolak.html">sumber-sumber ekonomi</a> yang tidak memadai, yang tidak diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan pokok dan pemerataan, lapangan kerja produktif, serta mobilisasi sumber-sumber dalam negeri.<br />• Menguatnya dominasi modal asing dalam penguasaan sumber-sumber dalam negeri.<br />• Tidak adanya demokrasi politik yang lebih luas, untuk mendorong keikutsertaan masyarakat sebagai suatu prasyarat penting yang memungkinkan kadar keadilan sosial dan demokrasi ekonomi yang lebih besar.<br /><br />Jalan Baru Yang Harus Ditempuh Untuk Mengganti Orde Baru<br />• Sikap dan kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap pemerataan adalah jelas, yakni masyarakat harus dibekali oleh kebutuhan dasar atas barang dan jasa. Namun, pemerataan tidak mungkin dapat dilakukan jika tanpa akumulasi atau peningkatan kekayaan nasional. Pengertiannya adalah ketimpangan yang diakibatkan oleh kebijaksaan peningkatan pertumbuhan ekonomi pada pemerintah Orde Baru harus dikoreksi langsung dengan campur tangan pemerintah dan tidak hanya bergantung pada alokasi yang dilakukan oleh meknaisme pasar. Tindakan langsung dalam distribusi ini menghindarkan kemungkinan terciptanya jurang pendapatan yang terlalu besar yang berkibat melemahnya partisipasi pekerja, tetapi juga ketegangan sosial.<br />• Memilih sistem ekonomi-politik yang demokratis dalam pengertian mewakili keinginan sebagian besar kelompok dalam masyarakat dan menjaga hak-hak warga negara. Keterwakilan berbagai kelompok masyarakat harus sedapat mungkin merata dalam pengertian keinginan seluruh kelompok masyarakat dapat diartikulasikan dan berandil dalam keputusan akhir. Berbagai bukti di negara-negara maju maupun sedang berkembang menunjukkan pentingnya mekanisme pasar yang meliputi mekanisme harga dan perusahaan swasta dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi atau akumulasi kekayaan nasional. Permasalahannya adalah ketidaksempurnaan sistem pasar tidak memungkinkan sistem ini melakukan pola distribusi dan jaminan pekerjaan pada masyarakat luas. Dalam keadaan demikian campur tangan pemerintah menjadi penting baik melalui kebijaksaan atau regulasi tertentu maupun lewat perusahaan negara.<br />• Mengakhiri pemerintahan yang totaliter.<br /><br />Sampai Di mana Reformasi?<br />• Reformasi telah berhasil menurunkan Pemerintah Soeharto, melahirkan sirkulasi kekuasaan dengan munculnya elit-elit baru dalam kekuasaan melalui pemilu multi partai 1999.<br />• Tidak digantinya sistem paling dasar dari Pemerintah Orde Baru, dengan sistem ekonomi-politik baru yang didasarkan pada;<br />1. Sistem ekonomi politik yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat (menekankan pentingnya pertumbuhan ekonomi) dan mendistribusikan akumulasi kekayaan nasional antara pemilik modal swasta dan pekerja serta jaminan kesejahteraan.<br />2. Sistem ekonomi-politik yang demokratis dalam pengertian mewakili keinginan sebagian besar kelompok dalam masyarakat dan menjaga hak-hak warga negara.<br />• Melemahnya konsolidasi kekuatan-kekuatan demokrasi baik di tingkat massa maupun organisasi, yang berakibat pada melemahnya,<br />1. Kontrol kekuatan-kekuatan demokrasi kepada regim elektoral yang berkuasa untuk menjalankan program-program demokrasi dengan mengubah sistem mendasar dari ekonomi-politik Orde Baru kepada sistem ekonomi-politik baru.<br />2. Kontrol kekuatan-kekuatan demokrasi menghadang kekuatan-kekuatan Orde Baru yang ingin kembali kepada kekuasaan.<br /><br />Apa Agenda Pasca Pemilu 2004?<br />• Konsolidasi kekuatan-kekuatan demokrasi untuk,<br />1. Mengontrol regim elektoral untuk menjalankan program-program demokrasi dengan mengubah sistem ekonomi-politik paling dasar dari Orde Baru kepada sistem ekonomi-politik baru yaitu;<br />a. Sistem ekonomi politik yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat (menekankan pentingnya pertumbuhan ekonomi) dan mendistribusikan akumulasi kekayaan nasional antara pemilik modal swasta dan pekerja serta jaminan kesejahteraan.<br />b. Sistem ekonomi-politik yang demokratis dalam pengertian mewakili keinginan sebagian besar kelompok masyarakat dan menjaga hak-hak warga negara.<br />2. Menghadang kekuatan-kekuatan Orde Baru yang bermaksud kembali berkuasa, dengan cara;<br />a. Menolak berkuasanya kembali orang-orang yang terlibat korupsi,<br />b. Menolak berkuasanya kembali orang-orang yang terlibat pelanggaran HAM,<br />c. Menuntut pengembalian kekayaan negara dari orang-orang yang telah mendapat kemudahan dan perlindungan negara dari kebijakan ekonomi Orde Baru.<br />• Melakukan kampanye seluas-luasnya untuk menarik dukungan massa rakyat secara langsung maupun melalui mekanisme organisasi, dalam rangka memperkuat kerja-kerja penguatan demokrasi.</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7240500765066680569.post-22363792673729268592010-07-16T01:10:00.000+07:002010-07-16T01:12:07.117+07:00Menjadi Pemilih Cerdas<div style="text-align: justify;">“bukan menjadi pemilih kucing dalam karung”.<br />Oleh: Idhar, S.psi<br />Perhelatan pemilihan umum kepala daerah sebentar lagi akan diselengggarakan KPU kota Surabaya, untuk memilih <a href="http://www.hendria.com/2010/05/menjadi-pemilih-cerdas.html">calon walikota dan wakil walikota kota Surabaya.</a> Jauh –juah hari para kandidat walikota telah memasang spanduk, baliho, billboard disepanjang jalan-jalan utama kota Surabaya, bahkan terkadang masuk di gang-gang kecil di perkampungan. Sebagai upaya untuk mensosialisasikan diri pada masyarakat, tidak sedikit kemudian masyarakat bertanya-tanya, siapa gerangan sosok yang terpampang di baliho atau sepanduk tadi, bahkan ada kesan yang muncul, wajah-wajah yang terpampang di spanduk, merupakan wajah yang asing bagi warga kota.<br />Warga melihat sosok yang muncul tidak pernah berkiprah di Kota Surabaya sebelumnya, sehingga warga kota tidak memiliki memori atau rekam jejak kandidat yang maju pada pemilukada, warga hanya tahu bahwa kandidat yang maju berwajah ganteng, dan menampilkan diri sebagai sosok yang peduli dengan kota Surabaya.<br />Fenomena ini tentu saja, menyeruak batin kita, dimana para kandidat yang maju dalam pemilukada lebih senang dengan menampilkan diri di baliho dengan gambar yang berwajah manis, dan untaian kata-kata yang sok membela rakyat kecil, atau membual dengan kata-kata yang tidak memiliki pijakan empirisnya (mis, akan mengurangi pengangguran, menciptakan lapangan pekerjaan, tidak akan mengusur pedagang kaki lima, bahkan akan menyediakan pendidikan gratis). bahkan kita lebih sering menjumpai kandidat walikota, berkampaye kesana-kemari dengan memberi sesuatu pada warga kota, seakan-akan sebagai orang yang paling dermawan di republik ini. Perilaku kandidat walikota ini tentu saja tidak mendidik secara politik, dimana pemilihan walikota disederhanakan hanya dengan tampil di spanduk dan baliho dan membagi-bagikan sembako atau melibatkan diri sebagai orang yang peduli terhadap lingkungan, dengan aksi bersih lingkungan atau menanam pohon.<br />Jarang sekali kita temui kandidat yang mempaparkan visi dan misi dan program untuk menata kota selama lima tahun ke depan, kemudian mensosialisasikan gagasan tentang pembenahan kota ke kampoeng-kampoeng atau melalui ruang-ruang diskusi/seminar dengan warga kota. Warga tidak pernah dilibatkan secara aktif dalam proses politik, bagi kandidat lebih mudah untuk memberi sembako atau mengadakan lomba untuk mendatangkan massa daripada harus bersusah-payah untuk mensosialisasikan gagasan dan memperdebatkan gagasan dengan warga kota. Potret politik seperti ini tentu saja, tak ubahkan dengan politik di jaman “Orde Baru” dimana rakyat hanya dimobilisasi dengan arak-arakan untuk datang ke areal kampaye, mendengarkan para jurkam berkotbah dengan janji-janji hari esok akan lebih kalau partainya menjadi pemenang di pemilihan umum.<br />Proses politik yang sarat modal finansial ini bila terus berlanjut akan melahikan defisit pemimpin yang memiliki karakter politik yag kuat dan berpihak pada rakyat, alih-alih untuk membela kepentingan rakyat, yang ada kalau sudah menjadi walikota tentu saja, akan mengembalikan modal terlebih dahulu, karena modal yang dikeluarkan terlalu banyak untuk memberi sembako selama perhelatan kampaye, atau mengembalikan pinjaman modal dari para cukong. Gejala yang lebih berbahaya adalah kosongnya kandidat-kandidat yang memiliki visi, misi dan program yang berkualitas, karena tiadanya modal untuk maju menjadi walikota, sudah menjadi cerita umum untuk maju dipemilukada, kandidat harus menyediakan sebanyak mungkin dana bagi partai politik, sebagai mahar, agar kandidat mendapat rekomendasi dari partai politik yang mengusungnya dan membiayai mesim politik partai agar dapat bekerja.<br />Warisan Politik; De-politisasi dan De-idiologisasi Massa<br />Potret politik seperti yang terurai di atas tentu saja tidak lahir begitu saja, ada ruang sosial yang melahirkan kondisi politik tanpa partisipasi publik yang bermakna. Pertanyaanya kemudian bagaimana kondisi sosial politik yang melahirkan partisipasi politik semu ini, situasi partisipasi yang ditandai dengan; kandidat yang tidak bekerja berdasarkan visi, misi dan program yang nyata, tetapi lebih mengedepankan kegiatan-kegiatan yang sporadis/karitatif yang mampu mendatangkan massa dalam jumlah besar; di satu sisi massa akan datang ke kampaye bila diberi uang/sembako. Partisipasi politik semu ini merupakan warisan atau sisa-sisa dari praktek politik selama orde baru, dengan apa yang kita kenal dengan istilah De-politisasi dan De-idiologisasi massa. Secara sederhana De-politisasi dan De-idiologisasi usaha rezim yang sedang berkuasa untuk menjauhkan rakyat dari partisipasi politik aktif, rakyat hanya dibuat mengambang dan akan dihadirkan menjelang diadakan pesta kampaye lima tahunan, kemudian rakyat dipaksa berduyun-duyun mendatangi TPS untuk mencontreng/mencoblos partai penguasa (golkar).<br />De-politisasi secara massif yang dilakukan rezim orde baru ini, kemudian melahirkan sikap apolitis warga, bahwa politik hanya menjadi urusan segelintir elit partai, rakyat sebaiknya bekerja dan tidak perlu terlibat dalam aktivitas politik karena politik merupakan usaha tipu daya dari elit partai, jauh dari moral yang baik, banyak kata kemudian sematkan pada perilaku politik, bahwa perilaku politik merupakan tindakan kotor yang tidak terpuji. Sebuah usaha untuk mendepolitisasi massa agar tidak terlibat dalam politik aktif.<br />Usaha mengambangkan massa juga dilakukan dengan melakukan de-idiologisasi antara massa dengan partai politik, kita melihat semasa orde baru, semua partai politik menganut asas tunggal pancasila, sehingga tidak ada beda antara partai yang satu dengan partai politik yang lain, sudah tidak ada beda antara lagi antara penganut/konstituen partai A dengan penganut/konstituen partai B. situasi ini sangat kental semasa orde baru, yang terjadi kemudian rakyat tidak memiliki tokoh yang menjadi panutan atau tokoh partai yang mampu menyerap aspirasi rakyat. De-idiologisasi ini juga usaha untuk memotong rantai ikatan rakyat dengan partai politik, kondisi ini kemudian melahirkan elit partai yang tercerabut dari akar-akar massa, apa yang diperjuangkan partai politik tidak menyambung dengan apa yang menjadi kehendak rakyat, karena terputusnya rantai ikatan antara rakyat dengan partai politik.<br />Ruang politik yang terbuka lebar semenjak reformasi, yang ditandai dengan lahirnya partai- partai baru, yang tumbuh bak jamur dimusim penghujan, partai-partai baru tumbuh dengan lapak politik berdasarkan ikatan-ikatan primordial semata. PAN lahir dengan lapak politik warga Muhammadiyah, meskipun mencoba membungkus diri sebagai partai modern dan terbuka, PKB yang diawal berdirinya mencitrakan sebagai sosok partai politik yang pluralis, terbuka untuk semua golongan, sejatinya hanya wadah politik warga nadhiyin, PDIP mencoba membangkitkan kembali kaum nasionalis atau para pengagum Bung Karno yang terlelap dari tidur panjang selama orde baru karena dibungkam rezim otoriter Soeharto. Lahirnya partai politik baru, tidak serta merta menciptakan partisipasi politik aktif rakyat. Warisan dari De-politisasi dan De-idiologisasi masih terasa kental, ini terpotret absennya kader-kader partai untuk maju menjadi kandidat dipemilukada, ini menunjukan fungsi kaderisasi dan rekrutmen politik dari partai politik tidak berjalan. Banyak kemudian fenomena kandidat dari figur-figur yang memiliki modal finansial kuat, yang kebanyakan dari pengusaha atau birokrat.<br />Ikatan-ikatan yang cair dalam partai politik, ini tercermin dengan mudahnya elit partai untuk berganti-ganti partai, bahkan bisa sampai dua atau tiga kali ganti partai, pada saat pemilukada, karena tidak mendapat rekomendasi partai politik dimana dia aktif, akhirnya berpindah partai yang mau memberangkatkan untuk maju pada pemilukada, atau karena tidak mendapat posisi yang strategis dalam tubuh partai, karena kalah bertarung di arena kongres partai atau karena gank politiknya mulai tumbang, kemudian berpindah partai lain yang mau memberikan kedudukan atau jabatan yang lebih strategis, tentu bukan sekedar kelakar kalau di negeri ini ganti partai politik, semudah ganti baju katanya.<br />Golput; Bukan Alternative Pilihan<br />Absenya kandidat-kandidat yang memiliki visi, misi dan program yang mencerahkan bagi rakyat, untuk maju dipemilukada, dan dominanya kandidat yang berlatarbelakang pengusaha dan birokrasi di beberapa pemilukada yang berlangsung di beberapa daerah, serta masih kuatnya warisan politik de-politisasi dan de-idiologisasi orde baru, ruang politik ini kemudian beririsan dengan tingginya angka golput, terutama dikalangan pemilih pemula (mahasiswa/pelajar), absenya partisipasi politik mahasiwa ini memiliki latar historis yang cukup panjang, dari kalangan mahasiswa ini inilah gerakan golput dilahirkan. Sebagai bentuk protes terhadap kesewenang-wenangan orde baru.<br />Istilah “golput” (kependekan dari golongan putih) memang sangat lekat dengan politik. Istilah ini muncul kali pertama di proklamasikan pada 3 Juni 1971, di Gedung Balai Budaya Jakarta, yang diperkenalkan oleh sejumlah kalangan aktivis muda saat itu, seperti Arief Budiman, Imam Waluyo, Julius Usman, Husin Umar, Marsilam Simanjuntak, dan Asmara Nababan. Golput adalah gerakan moral sebagai bentuk protes terhadap UU Pemilu No.15/1969 yang dinilai mengkerdilkan partai politik. Menurut Arief Budiman, UU Pemilu No.15/1969 tersebut telah mematikan kekuatan-kekuatan politik baru dalam pemilu selain partai politik yang ada dan golkar. Golkar sendiri dengan dukungan militer dinilai telah mengecewakan kalangan muda dan masyarakat karena dianggap telah menginjak-injak hak asasi dan demokrasi rakyat.<br />Secara konseptual ada beberapa kalangan akademisi yang mencoba mendefinikan golput. Menurut Budiman, golput merupakan upaya yang dilakukan oleh rakyat untuk melawan kesewenangan pemerintah orde baru . Sementara itu Arbi Sanit, mengidentifikasi bahwa golput adalah mereka secara sadar yang tidak puas dengan keadaan sekarang, karena aturan main demokrasi diinjak-injak partai politik dan juga tidak berfungsinya lembaga demokrasi (parpol) sebagaimana kehendak rakyat dalam sistem demokrasi . Saiful Mujani melihat golongan putih merupakan protes politik, atau refleksi ketidakpercayaan terhadap partai politik dan pemerintah orde baru yang menggunakan pemilu untuk melegitimasi rezim otoritarian. Karena itu, pemilu seperti dilakukan orde baru harus ditolak, tidak jujur dan adil (jurdil) .<br />Berdasarkan latar sejarah tersebut, terlihat golongan putih (golput) mempunyai konotasi politik yang kuat dan tidak hanya sekedar kesalahan teknis-administratif. Pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya dilihat semata sebagai bentuk protes terhadap pemerintah atau sikap melawan terhadap pelaksanaan pemilihan umum. Latar belakang sejarah yang melahirkan gerakan golput yang dimotori mahasiswa pada saat itu, tentu sudah jauh berbeda dengan konteks politik hari ini. Dimana ruang kebebasan berpolitik sudah terbuka lebar, ada banyak alternative pilihan terhadap partai politik ada, ini tentu berbeda pada saat gerakan golput dilahirkan yang hanya membolehkan partai yang ada dan Golkar untuk ikut dalam pemilihan umum. Selain itu sudah tidak ditemui lagi represitas yang dilakukan aparat TNI/Polri untuk memaksa rakyat mencoblos salah satu partai, kejadian yang lazim ditemui setiap dilakukan perhelatan akbar pemilihan umum di masa orde baru.<br />Pertayaannya apakah kita (mahasiswa), tetap menjadi golput walaupun ruang social politik sudah jauh berbeda dengan konteks lahirnya gerakan golput itu sendiri. Tentu pilihan itu menjadi hak pribadi masing-masing orang apakah akan menggunakan hak pilih atau tidak, tetapi menjadi golput bukanlah pilihan yang tepat. Memanfaatkan ruang politik yang terbuka lebar, jauh lebih progresif untuk mendorong terjadinya perubahan, ini bisa dilakukan dengan melakukan kontrak politik dengan kandidat yang maju dipemilukada, menjadi actor yang memediasi kelompok pemilih marjinal, misalnya buruh, warga stren kali, pedagang kaki lima untuk melakukan kontrak politik dengan kandidat yang maju dipemillukada.<br /><br />Saatnya Menentukan Pilihan.<br />Ditengah absennya kandidat-kandidat yang memiliki visi, misi dan program yang mencerahkan dan masih kuatnya warisan politik orde baru de-politisasi dan de-idiologisasi dalam proses politik yang sedang berlangsung hari ini. Ada baiknya kemudian kita mengkategorisasikan perilaku pemilih, sehingga kita dapat menggunakan hak pilih secara cerdas, dan tidak mendasarkan pada pilihan-pilihan politik yang bersifat pragmatis.<br />Menjadi golput bukanlah alternative yang baik, meskipun itu hak setiap warga Negara untuk menggunakan hak pilih atau tidak. Dalam kamus politik kemudian kita dikenalkan dengan istilah perilaku pemilih (voter behavior); ada beberapa varian dari perilaku pemilih; Pertama. Pemilih rasional , dalam kategori ini pemilih mendasarkan pemilihannya pada visi, misi dan programnya serta rekam jejak dari kandidat yang akan maju pada pemilukada. Pemilih rasional ini lebih mengedepankan program-program yang dianggap yang membumi dan rasionalah yang akan menjadi pilihannya.<br />Kedua. Pemilih Irasional . pemilih irasional tidak memiliki sense of civic competence sehingga mereka tidak begitu memerdulikan keadaan lingkungannya, apalagi berpartisipasi dalam politik. Kalaupun ada keterlibatan mereka dalam aktivitas politik tertentu, misalnya kampanye, tak lain adalah proses mobilisasi yang dilakukan oleh kelompok atau partai politik tertentu. Pemilih irasional tidak memiliki motivasi untuk terlibat dalam proses politik baik langsung ataupun tidak langsung. Dengan kondisi keterbatasan dari sisi pendidikan dan perekonomian, menyulitkan mereka untuk memberikan pertimbangan yang rasional atau evaluasi terhadap calon pemimpin yang ditawarkan partai politik. Akibatnya, pilihan mereka bukanlah pilihan rasional kecuali hanya berdasarkan pada pragmatisme yang bersifat jangka pendek terutama yang terkait dalam pemenuhan kebutuhan mereka secara material dan sosiologis.<br />Ketiga. Pemilih tradisional/emosional . Perilaku pemilih ini lebih mengedepankan aspek-aspek kedekatan emosional kandidat dengan pemilih. Seorang pemilih akan memilih calon walikota karena kebetulan sang calon berkeyakinan agama sama dengannya, ataupun satu jenis kelamin (khususnya untuk calon kepala daerah yang perempuan), atau sang kandidat satu daerah (kecamatan/kabupaten/kota) dengan calon dan pelbagai macam variabel lainnya, yang boleh jadi semua ini menihilkan program yang ditawarkan.<br />Tentu saja pilihan terhadap kandidat yang akan dalam pemilukada Surabaya, tidak bisa kita sederhanakan dalam tiga kategori pemilih, tatapi ada juga yang dilandasi pada loyalitas partai, artinya pemilih akan memilih kandidat yang berasal dari partai politik yang diikuti pemilih. Tetapi sebagai pemilih yang cerdas, tentu saja akan lebih mengedepankan aspek visi, misi, dan program yang akan ditawarkan selama lima tahun mendatang, melihat rekam jejaknya, apakah terlibat dalam tindakan-tindakan yang melanggar HAM, terindikasi melakukan korupsi atau menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Menguliti lebih detail, terhadap kandidat yang maju dipemilukada jauh lebih baik, agar kita tidak seperti pemilih dimasa lalu yang hanya memilih kuncing dalam karung.<br />Tema pengatar pada Sosialisasi Pemilukada Surabaya 2010; Peningkatan Partisipasi Politik Pemilih Pemula Surabaya pada Pemilukada Surabaya 2010, di Meeting Room, Graha Wiyata Untag;, pada Rabo 5 Mei 2010.<br />Alumni Fakultas Psikologi Untag Surabaya, yang sekarang sebagai Direktur PUSDEK (Pusat Studi untuk Demokrasi Ekonomi dan Keadilan Sosial).<br /><br /><span style="font-size:78%;">Catatan Kaki</span><br /><span style="font-size:78%;"> Kompas, Geliat Golongan Putih, Makin Tampak dari Masa ke Masa, Selasa, 24 Februari 2004.</span><br /><span style="font-size:78%;"> Arief Budiman, Pemilihan Umum 1997: Golput Sebagai Senjata Kaum Lemah. Tempo. Edisi 45/01-04/Jan/1997.</span><br /><span style="font-size:78%;"> Arbi Sanit, 1992. Golput: Aneka Pandangan fenomena politik. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan</span><br /><span style="font-size:78%;"> Saiful Mujani, Mitos Golput, Kompas, Selasa, 25 Mei 2004.</span><br /><span style="font-size:78%;"> Leo Agustino, Membaca Perilaku Pemilih, dikutip dari http://newspaper.pikiran-rakyat.com</span><br /><span style="font-size:78%;"> Asrinaldi A, Pemilih Rasional dan Pemimpin Berkualitas, Media Indonesia: 14 April 2004</span><br /><span style="font-size:78%;"> Leo Agustino, op, cit.,</span></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7240500765066680569.post-13490916204064304812010-07-16T01:08:00.000+07:002010-07-16T01:09:24.879+07:00Peran Partai Politik<div style="text-align: justify;">Sistem politik Indonesia telah menempatkan Partai Politik sebagai pilar utama penyangga demokrasi. Artinya, tak ada demokrasi tanpa <a href="http://www.hendria.com/2010/05/peran-partai-politik.html">Partai Politik</a>. Karena begitu pentingnya peran Partai Politik, maka sudah selayaknya jika diperlukan sebuah peraturan perundang-undangan mengenai Partai Politik. Peraturan perundang-undangan ini diharapkan mampu menjamin pertumbuhan Partai Politik yang baik, sehat, efektif dan fungsional.<br />Dengan kondisi Partai Politik yang sehat dan fungsional, maka memungkinkan untuk melaksanakan rekrutmen pemimpin atau proses pengkaderan, pendidikan politik dan kontrol sosial yang sehat. Dengan Partai Politik pula, konflik dan konsensus dapat tercapai guna mendewasakan masyarakat. Konflik yang tercipta tidak lantas dijadikan alasan untuk memecah belah partai, tapi konflik yang timbul dicarikan konsensus guna menciptakan partai yang sehat dan fungsional.<br />Pentingnya keberadaan Partai Politik dalam menumbuhkan demokrasi harus dicerminkan dalam peraturan perundang-undangan. Seperti diketahui hanya Partai Politik yang berhak mengajukan calon dalam Pemilihan Umum. Makna dari ini semua adalah, bahwa proses politik dalam Pemilihan Umum (Pemilu), jangan sampai mengebiri atau bahkan menghilangkan peran dan eksistensi Partai Politik. Kalaupun saat ini masyarakat mempunyai penilaian negatif terhadap Partai Politik, bukan berarti lantas menghilangkan eksistensi partai dalam sistem ketatanegaraan. Semua yang terjadi sekarang hanyalah bagian dari proses demokrasi.<br /><br />Menumbuhkan Partai Politik yang sehat dan fungsional memang bukan perkara mudah. Diperlukan sebuah landasan yang kuat untuk menciptakan Partai Politik yang benar-benar berfungsi sebagai alat artikulasi masyarakat. Bagi Indonesia, pertumbuhan Partai Politik telah mengalami pasang surut. Kehidupan Partai Politik baru dapat di lacak kembali mulai tahun 1908. Pada tahap awal, organisasi yang tumbuh pada waktu itu seperti Budi Oetomo belum bisa dikatakan sebagaimana pengertian Partai Politik secara modern. Budi Utomo tidak diperuntukkan untuk merebut kedudukan dalam negara (public office) di dalam persaingan melalui Pemilihan Umum. Juga tidak dalam arti organisasi yang berusaha mengendalikan proses politik. Budi Oetomo dalam tahun-tahun itu tidak lebih dari suatu gerakan kultural, untuk meningkatkan kesadaran orang-orang Jawa.<br /><br />Sangat boleh jadi partai dalam arti modern sebagai suatu organisasi massa yang berusaha untuk mempengaruhi proses politik, merombak kebijaksanaan dan mendidik para pemimpin dan mengejar penambahan anggota, baru lahir sejak didirikan Sarekat Islam pada tahun 1912. Sejak itulah partai dianggap menjadi wahana yang bisa dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan nasionalis. Selang beberapa bulan, lahir sebuah partai yang di dirikan Douwes Dekker guna menuntut kebebasan dari Hindia Belanda. Dua partai inilah yang bisa dikatakan sebagai cikal bakal semua Partai Politik dalam arti yang sebenarnya yang kemudian berkembang di Indonesia.<br /><br />Pada masa pergerakan nasional ini, hampir semua partai tidak boleh berhubungan dengan pemerintah dan massa di bawah (grass roots). Jadi yang di atas, yaitu jabatan puncak dalam pemerintahan kolonial, tak terjangkau, ke bawah tak sampai. Tapi Partai Politik menjadi penengah, perumus ide. Fungsi Partai Politik hanya berkisar pada fungsi sosialisasi politik dan fungsi komunikasi politik.<br /><br />Pada masa pendudukan Jepang semua Partai Politik dibubarkan. Namun, pada masa pendudukan Jepang juga membawa perubahan penting. Pada masa Jepang-lah didirikan organisai-organisasi massa yang jauh menyentuh akar-akar di masyarakat. Jepang mempelopori berdirinya organisasi massa bernama Pusat Tenaga Rakyat (Poetera). Namun nasib organisasi ini pada akhirnya juga ikut dibubarkan oleh Jepang karena dianggap telah melakukan kegiatan yang bertujuan untuk mempengaruhi proses politik. Praktis sampai diproklamirkan kemerdekaan, masyarakat Indonesia tidak mengenal partai-partai politik.<br /><br />Perkembangan Partai Politik kembali menunjukkan geliatnya tatkala pemerintah menganjurkan perlunya di bentuk suatu Partai Politik. Wacana yang berkembang pada waktu itu adalah perlunya partai tunggal. Partai tunggal diperlukan untuk menghindari perpecahan antar kelompok, karena waktu itu suasana masyarakat Indonesia masih diliputi semangat revolusioner. Tapi niat membentuk partai tunggal yang rencananya dinamakan Partai Nasional Indonesia gagal, karena dianggap dapat menyaingi Komite Nasional Indonesia Pusat dan dianggap bisa merangsang perpecahan dan bukan memupuk persatuan. Pasca pembatalan niat pembentukan partai tunggal, atas desakan dan keputusan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, pemerintah mengeluarkan maklumat yang isinya perlu di bentuk Partai Politik sebanyak-banyaknya guna menyambut Pemilihan Umum anggota Badan-Badan Perwakilan Rakyat.<br /><br />Pada keadaan seperti itulah Partai Politik tumbuh dan berkembang selama revolusi fisik dan mencapai puncaknya pada tahun 1955 ketika diselenggarakan Pemilihan Umum pertama yang diikuti oleh 36 Partai Politik, meski yang mendapatkan kursi di parlemen hanya 27 partai. Pergolakan-pergolakan dalam Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Konstituante hasil Pemilihan Umum telah menyudutkan posisi Partai Politik. Hampir semua tokoh, golongan mempermasalahkan keberadaan Partai Politik. Kekalutan dan kegoncangan di dalam sidang konstituante inilah yang pada akhirnya memaksa Bung Karno membubarkan partai-partai politik, pada tahun 1960, dan hanya boleh tinggal 10 partai besar yang pada gilirannya harus mendapatkan restu dari Bung Karno sebagai tanda lolos dari persaingan.<br /><br />Memasuki periode Orde Baru, tepatnya setelah Pemilihan Umum 1971 pemerintah kembali berusaha menyederhanakan Partai Politik. Seperti pemerintahan sebelumnya, banyaknya Partai Politik dianggap tidak menjamin adanya stabilitas politik dan dianggap mengganggu program pembangunan. Usaha pemerintah ini baru terealisasi pada tahun 1973, partai yang diperbolehkan tumbuh hanya berjumlah tiga yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), GOLKAR dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).<br /><br />Nampak sekali bahwa partai-partai yang ada di Indonesia boleh dikatakan merupakan partai yang dibentuk atas prakarsa negara. Pembentukan partai bukan atas dasar kepentingan masing-masing anggota melainkan karena kepentingan negara. Dengan kondisi partai seperti ini, sulit rasanya mengharapkan partai menjadi wahana artikulasi kepentingan rakyat. Baru setelah reformasi, pertumbuhan Partai Politik didasari atas kepentingan yang sama masing-masing anggotanya. Boleh jadi, Era Reformasi yang melahirkan sistem multi-partai ini sebagai titik awal pertumbuhan partai yang didasari kepentingan dan orientasi politik yang sama di antara anggotanya.<br /><br />Kondisi yang demikian ini perlu dipertahankan, karena Partai Politik adalah alat demokrasi untuk mengantarkan rakyat menyampaikan artikulasi kepentingannya. Tidak ada demokrasi sejati tanpa Partai Politik. Meski keberadaan Partai Politik saat ini dianggap kurang baik, bukan berarti dalam sistem ketatanegaraan kita menghilangkan peran dan eksistensi Partai Politik. Keadaan Partai Politik seperti sekarang ini hanyalah bagian dari proses demokrasi.<br /><br />Dalam kondisi kepartaian yang seperti ini, Pemilihan Umum 2004 digelar dengan bersandar kepada Undang-undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Dalam perjalanannya, undang-undang ini di anggap belum mampu mengantarkan sistem kepartaian dan demokrasi perwakilan yang efektif dan fungsional. Undang-undang ini juga belum mampu melahirkan Partai Politik yang stabil dan akuntabel. Masyarakat juga masih belum percaya pada keberadaan Partai Politik, padahal fungsi Partai Politik salah satunya adalah sebagai alat artikulasi kepentingan rakyat. Untuk menciptakan Partai Politik yang efektif dan fungsional diperlukan adanya kepercayaan yang penuh dari rakyat. Tanpa dukungan dan kepercayaan rakyat, Partai Politik akan terus dianggap sebagai pembawa ketidakstabilan politik sehingga kurang berkah bagi kehidupan rakyat.<br /><br />Untuk menciptakan sistem politik yang memungkinkan rakyat menaruh kepercayaaan, diperlukan sebuah peraturan perundang-undangan yang mampu menjadi landasan bagi tumbuhnya Partai Politik yang efektif dan fungsional. Dengan kata lain, diperlukan perubahan terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur sistem Politik Indonesia yakni Undang-undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, Undang-undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Undang-undang No. 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dan Undang-undang No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7240500765066680569.post-45026710707926274092010-07-16T01:05:00.000+07:002010-07-16T01:07:25.063+07:00Peran Partai Politik Dalam Mendorong Partisipasi Politik Rakyat<div style="text-align: justify;">Oleh; Idhar, S.psi
<br />
<br />Salah satu hasil dari gerakan reformasi pada medio Mei ’98 yang dipelopori mahasiswa, hadirnya ruang kebebasan politik, dimana rakyat secara bebas untuk menjadi anggota dan mendirikan partai politik baru, diluar partai politik yang ada dan golkar. Kerinduan rakyat akan partai politik baru ini ditangkap oleh kalangan elit politik republik ini, dengan mendirikan partai politik dan menawarkan kembali <a href="http://www.hendria.com/2010/05/peran-partai-politik-dalam-mendorong_21.html">idiologi-idiologi besar</a> yang pernah tampil dipanggung politik Indonesia dimasa pemilu tahun 1955
<br /></div><div style="text-align: justify;" class="fullpost">. Ada yang menghadirkan kembali ide besar Bung Karno dengan marhaenismenya; idiologi sosialisme ala Indonesia/sosialisme kerakyatan; ada yang mendasarkan pada ikatan-ikatan keagamaan, misalnya Islam, Kristen; selain itu juga yang mencoba bermain-main dengan mendasarkan pada basis konstituen kaum buruh, petani, nelayan, serta kaum miskin kota.
<br />Kebebasan berpartai politik ini terekspresi dengan banyaknya jumlah partai politik, ada sekitar 180 partai baru berdiri, meskipun hanya 142 partai yang dapat didaftarkan, dan hanya 48 yang lolos ikut bertanding dalam pemilu 1999. Pemilu pertama setelah jatuhnya rejim otoriter Soeharto. Uforia rakyat untuk terlibat dalam politik pun, seperti tidak terbendung. Ajang kampaye partai politik dihadiri ribuan/bahkan jutaan simpatisan pendukungnya. Rakyatpun meluapkan kebebasannya dengan melakukan arak-arakan di jalan-jalan raya, sebuah kejadian yang tidak pernah terjadi selama dibawah kekangan kokang senjata rejim Orde Baru selama 32 tahun. Jutaan rakyat tumpah-ruah dan berduyun-duyun menghadiri kampaye yang diadakan partai politik. Rakyat dengan kesadarannya, mendatangi tempat-tempat kampaye untuk mendengarkan para juru kampaye berkotbah, tentang visi kedepan bangsa Indonesia.
<br />Uforia rakyat untuk terlibat dalam aktivitas politik, ini terlihat dari banyaknya massa yang mendatangi kampaye, dan memberikan suaranya dibilik-bilik pemungutan suara, dengan satu harapan pemilihan umum kali ini akan melahirkan sosok pemimpin/wakil rakyat, yang benar-benar memperjuangakan kepentingan rakyat, pemimpin yang bersih dan tidak melakukan tindakan-tindakan seperti yang lazim terjadi di masa Orde Baru, seperti kolusi, korupsi, dan nepotisme. Tidak kurang seratus lima juta lebih rakyat menggunakan hak pilihnya pada pemilihan umum tahun 1999. Terlepas dari segala kritik yang memgikutinya, pemilu tahun 1999, dinilai sukses oleh sebagian besar kalangan, sebagai pemilu yang demokratis kedua setelah pemilu tahun 1955.
<br />Pemilu di tahun 1999, kemudian menghadirkan elit-elit politik baru dalam pentas politik nasional, dan sebagian juga berasal dari elit politik lama, terutama dari partai Golkar. Rakyat kemudian menaruh harapan yang besar pada elit baru yang baru tumbuh, yang diharapkan akan membawa kesejahteraan rakyat dan jauh dari praktek-praktek korupsi. Harapan rakyat yang besar pada wakil-wakilnya yang duduk di lembaga Dewan Perwakilan Rakyat, tidak berbanding lurus dengan tingkah laku para elit partai politik, banyak dari anggota DPR yang terlibat dalam kasus- kasus korupsi, sebagain dari elit partai ini tampil bak orang kaya baru, dengan menggunakan mobil-mobil mewah, bahkan mumcul anekdot “cari mobil mewah, ya di senayan’, gedung DPR menjadi showroom mobil mewah paling lengkap”. Perilaku/gaya hidup yang jauh dari kehidupan konstituen yang mereka wakili.
<br />Perilaku elit partai politik ini kemudian, disikapi secara apatis oleh rakyat, dengan menganggap/memandang secara sinis apapun yang berkaitan dengan politik; banyak argumentasi yang dikemukakan rakyat bahwa politik hanya menjadi urusan perebutan kekuasaan antar elit partai, dan rakyat hanya digunakan untuk menjadi alat dari perebutan kekuasaan semata. Argumentasi yang lebih jauh menunjukkan bahwa politik hanya menjadi permainan bagi segelintir elit partai, yang pada akhirnya hanya menjadi ajang berkarir, dan memperkaya diri sendiri.
<br />Apatisme rakyat akan politik disatu sisi, dengan lemahnya kontrol rakyat akan kebijakan-kebijakan publik yang berkaitan dengan dirinya, rakyat mendapati para wakil-wakilnya tidak pernah memperjuangkan secara nyata beberapa kebijakan yang berimplikasi pada kehidupan rakyat, kebijakan kenaikan BBM, upah buruh yang jauh dari layak, untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, kenaikan harga pupuk dan kelangkaan pupuk yang selalu dialami para petani. Rakyat kemudian bertanya dimana wakil-wakil yang dulu dipilih saat pemilu, sikap lanjut dari apatisme rakyat, melahirkan fenomena yang dikenal sikap antipartai politik, bahwa sudah tidak ada beda lagi antara partai politik yang satu dengan lain, partai hanya hadir menjelang diadakannya perhelatan akbar kampaye, begitu masa kampaye usai, partai-partai kemudian menghilang bak ditelan bumi,
<br />Rakyat; Menjawab Dengan Golput
<br />Pemilu tahun 2004, seakan menjadi hukuman bagi partai politik, dimana pada pemilu tahun ini, jumlah golput mencapai rekor tertinggi sepanjang perhelatan pemilihan umum digelar. Golput yang pada tahun-tahun sebelumnya hanya berkisar pada angka 10%, pada pemilu tahun 2004 menjadi 23,34%, fenomena golput juga semakin meningkat dibeberapa pilkada yang baru digelar Juni 2005, kecenderungan meningkatnya golput berdampak pada jumlah dukungan suara yang masuk kepada masing-masing pasangan calon peserta pilgub dan pilbup atau walikota. Kisaran angka 30% golput saja membuat pasangan peserta tidak akan meraih dukungan di atas 50%. Tidak mengherankan, jika kemenangan baik di pilihan gubernur, pilihan bupati atau walikota lebih banyak mencapai kisaran 40%, bahkan kurang dari 40%. Secara formal, legitimasi kemenangan memang sudah sah. Namun, legimatimasi dukungan masyarakat secara riil menjadi berkurang. Lebih jelasnya suara golput saat pemilu dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
<br />
<br />Suara Golput Sepanjang Pemilu
<br /><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CHendri%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtml1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"><style> <!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Agency FB"; panose-1:2 11 5 3 2 2 2 2 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:3 0 0 0 1 0;} @font-face {font-family:Calibri; mso-font-alt:"Century Gothic"; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-1610611985 1073750139 0 0 159 0;} @font-face {font-family:Verdana; panose-1:2 11 6 4 3 5 4 4 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:536871559 0 0 0 415 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:""; margin:0in; margin-bottom:.0001pt; text-align:justify; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:Calibri; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-bidi-font-family:"Times New Roman";} p.MsoBodyTextIndent, li.MsoBodyTextIndent, div.MsoBodyTextIndent {mso-style-link:" Char Char3"; margin-top:0in; margin-right:0in; margin-bottom:0in; margin-left:.25in; margin-bottom:.0001pt; text-align:justify; line-height:150%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:IN; mso-bidi-font-weight:bold;} p.Default, li.Default, div.Default {mso-style-name:Default; mso-style-parent:""; margin:0in; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; mso-layout-grid-align:none; text-autospace:none; font-size:12.0pt; font-family:Verdana; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-font-family:Verdana; color:black;} span.CharChar3 {mso-style-name:" Char Char3"; mso-style-locked:yes; mso-style-link:"Body Text Indent"; mso-ansi-font-size:12.0pt; mso-bidi-font-size:12.0pt; mso-ansi-language:IN; mso-fareast-language:EN-US; mso-bidi-language:AR-SA; mso-bidi-font-weight:bold;} @page Section1 {size:8.5in 11.0in; margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in; mso-header-margin:.5in; mso-footer-margin:.5in; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} --> </style>
<br /><table class="MsoNormalTable" style="border: medium none ; border-collapse: collapse; margin-left: 0px; text-align: left; margin-right: 0px;" border="1" cellpadding="0" cellspacing="0"><tbody> <tr> <td rowspan="2" style="border: 1pt solid rgb(247, 150, 70); padding: 0in 5.4pt; width: 67.25pt;" valign="top" width="90"><div class="MsoBodyTextIndent" style="line-height: normal; margin-left: 0in; text-align: center;" align="center"><b><span style="font-family: "Agency FB";" lang="IN">Tahun Pemilu<o:p></o:p></span></b></div></td> <td rowspan="2" style="border-style: solid solid solid none; border-color: rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: 1pt 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 72.65pt;" valign="top" width="97"><div class="MsoBodyTextIndent" style="line-height: normal; margin-left: 0in; text-align: center;" align="center"><b><span style="font-family: "Agency FB";" lang="IN">Pemilih Terdaftar<o:p></o:p></span></b></div></td> <td colspan="2" style="border-style: solid solid solid none; border-color: rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: 1pt 1pt 2.25pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 145.35pt;" valign="top" width="194"><div class="MsoBodyTextIndent" style="line-height: normal; margin-left: 0in; text-align: center;" align="center"><b><span style="font-family: "Agency FB";" lang="IN">Suara Sah<o:p></o:p></span></b></div></td> <td colspan="2" style="border-style: solid solid solid none; border-color: rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: 1pt 1pt 2.25pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 145.4pt;" valign="top" width="194"><div class="MsoBodyTextIndent" style="line-height: normal; margin-left: 0in; text-align: center;" align="center"><b><span style="font-family: "Agency FB";" lang="IN">Golput<o:p></o:p></span></b></div></td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; background: rgb(253, 228, 208) none repeat scroll 0% 0%; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 72.65pt;" valign="top" width="97"><div class="MsoBodyTextIndent" style="line-height: normal; margin-left: 0in; text-align: center;" align="center"><span style="font-family: "Agency FB";" lang="IN">Suara<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; background: rgb(253, 228, 208) none repeat scroll 0% 0%; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 72.7pt;" valign="top" width="97"><div class="MsoBodyTextIndent" style="line-height: normal; margin-left: 0in; text-align: center;" align="center"><span style="font-family: "Agency FB";" lang="IN">%<o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; background: rgb(253, 228, 208) none repeat scroll 0% 0%; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 72.7pt;" valign="top" width="97"><div class="MsoBodyTextIndent" style="line-height: normal; text-align: center;" align="center"><span style="font-family: "Agency FB";" lang="IN">Suara</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; background: rgb(253, 228, 208) none repeat scroll 0% 0%; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 72.7pt;" valign="top" width="97"><div class="MsoBodyTextIndent" style="line-height: normal; margin-left: 0in; text-align: center;" align="center"><span style="font-family: "Agency FB";" lang="IN">%<o:p></o:p></span></div></td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70); border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 67.25pt;" valign="top" width="90"><div class="Default"><b><span style="font-family: "Agency FB";">1955<o:p></o:p></span></b></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 72.65pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">43.084.719</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 72.65pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">37.785.299</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 72.7pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">87,7</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 72.7pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">5.299.420</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 72.7pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">12,3</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70); border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; background: rgb(253, 228, 208) none repeat scroll 0% 0%; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 67.25pt;" valign="top" width="90"><div class="Default"><b><span style="font-family: "Agency FB";">1971<o:p></o:p></span></b></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; background: rgb(253, 228, 208) none repeat scroll 0% 0%; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 72.65pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">58.558.776 </span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; background: rgb(253, 228, 208) none repeat scroll 0% 0%; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 72.65pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">54.635.338</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; background: rgb(253, 228, 208) none repeat scroll 0% 0%; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 72.7pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">93,3</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; background: rgb(253, 228, 208) none repeat scroll 0% 0%; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 72.7pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">3.923.438</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; background: rgb(253, 228, 208) none repeat scroll 0% 0%; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 72.7pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">6,7</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70); border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 67.25pt;" valign="top" width="90"><div class="Default"><b><span style="font-family: "Agency FB";">1977<o:p></o:p></span></b></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 72.65pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">70.670.153</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 72.65pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">64.733.860</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 72.7pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">91,6</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 72.7pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">5.936.293</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 72.7pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">8,4</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70); border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; background: rgb(253, 228, 208) none repeat scroll 0% 0%; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 67.25pt;" valign="top" width="90"><div class="Default"><b><span style="font-family: "Agency FB";">1982<o:p></o:p></span></b></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; background: rgb(253, 228, 208) none repeat scroll 0% 0%; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 72.65pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">82.002.545</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; background: rgb(253, 228, 208) none repeat scroll 0% 0%; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 72.65pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">74.122.100</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; background: rgb(253, 228, 208) none repeat scroll 0% 0%; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 72.7pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">90,39</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; background: rgb(253, 228, 208) none repeat scroll 0% 0%; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 72.7pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">7.880.445</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; background: rgb(253, 228, 208) none repeat scroll 0% 0%; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 72.7pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">9,61</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70); border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 67.25pt;" valign="top" width="90"><div class="Default"><b><span style="font-family: "Agency FB";">1987<o:p></o:p></span></b></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 72.65pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">93.965.953</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 72.65pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">86.082.210</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 72.7pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">91,61</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 72.7pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">7.883.743</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 72.7pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">8,39</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70); border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; background: rgb(253, 228, 208) none repeat scroll 0% 0%; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 67.25pt;" valign="top" width="90"><div class="Default"><b><span style="font-family: "Agency FB";">1992<o:p></o:p></span></b></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; background: rgb(253, 228, 208) none repeat scroll 0% 0%; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 72.65pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">107.565.000</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; background: rgb(253, 228, 208) none repeat scroll 0% 0%; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 72.65pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">97.789.534</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; background: rgb(253, 228, 208) none repeat scroll 0% 0%; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 72.7pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">90,9</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; background: rgb(253, 228, 208) none repeat scroll 0% 0%; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 72.7pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">9.775.466</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; background: rgb(253, 228, 208) none repeat scroll 0% 0%; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 72.7pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">9,1</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70); border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 67.25pt;" valign="top" width="90"><div class="Default"><b><span style="font-family: "Agency FB";">1997<o:p></o:p></span></b></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 72.65pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">125.640.000</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 72.65pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">112.991.150 </span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 72.7pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">89,9</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 72.7pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">12.648.850</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 72.7pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">10,1</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70); border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; background: rgb(253, 228, 208) none repeat scroll 0% 0%; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 67.25pt;" valign="top" width="90"><div class="Default"><b><span style="font-family: "Agency FB";">1999<o:p></o:p></span></b></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; background: rgb(253, 228, 208) none repeat scroll 0% 0%; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 72.65pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">117.738.000</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; background: rgb(253, 228, 208) none repeat scroll 0% 0%; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 72.65pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">105.786.661 </span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; background: rgb(253, 228, 208) none repeat scroll 0% 0%; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 72.7pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">89,8</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; background: rgb(253, 228, 208) none repeat scroll 0% 0%; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 72.7pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">11.951.339</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; background: rgb(253, 228, 208) none repeat scroll 0% 0%; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 72.7pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">10,2</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70); border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0in 5.4pt; width: 67.25pt;" valign="top" width="90"><div class="Default"><b><span style="font-family: "Agency FB";">2004<o:p></o:p></span></b></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 72.65pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">148.000.041</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 72.65pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">113.456.840</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 72.7pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">76,66</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 72.7pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">34.543.201</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color rgb(247, 150, 70) rgb(247, 150, 70) -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0in 5.4pt; width: 72.7pt;" valign="top" width="97"><div class="Default"><span style="font-family: "Agency FB";">23,34</span><span style="font-family: "Agency FB";"><o:p></o:p></span></div></td> </tr> </tbody></table>Keterangan: Angka Golput = DPT-(pemilih yang tidak menggunakan hak suaranya + jumlah suara tidak sah).
<br />Apabila menyimak angka-angka dalam tabel di atas menunjukkan bahwa, pelaksanaan pemilihan umum dari waktu ke waktu, jumlah golongan putih (golput) menunjukkan perkembangan yang terus meningkat. Jika pada Pemilu 1955, yang dikenal paling luber dan paling demokratis, tingkat golput mencapai 12,3 persen. Fenomena golput masih belum tinggi di era pemilu orde baru yang rakyatnya masih dimobilisasi dalam pemilu. Pemilu 1971 golput mencapai 6,7 persen, kemudian meningkat menjadi 8,4 persen dalam Pemilu 1977 dan meningkat lagi dalam Pemilu 1982 menjadi 9,61 persen. Dalam Pemilu 1987 turun menjadi 8,39 persen dan meningkat lagi dalam Pemilu 1992 menjadi 9,1 persen, dan 10,1 persen dalam Pemilu 1997. Sedangkan suara golput yang dicapai pada Pemilu 1999, pasca jatuhnya rezim otoriter, angka golput juga masih meningkat, yakni mencapai 10,2% persen. Hal ini bila memasukkan jumlah suara yang tidak sah karena berbagai alasan sebagai suara golput. Pada saat Pemilu 2004 angka golput meningkat tajam menjadi 23,34% persen.
<br />Pertanyaan yang layak diajukan kemudian, bagaimana bisa terjadi perubahan yang begitu cepat sikap rakyat terhadap partai politik dan rendahnya partisipasi politik, rakyat yang ditahun 1999, menyambut secara gegap-gempita hadirnya partai politik baru, dan terlibat secara suka rela untuk mendatangi kampaye dengan berarak-arakan, maupun datang ke bilik-bilik tempat pemungutan suara, untuk memberikan suaranya. Kondisi ini kemudian berbalik pada pemilihan umum tahun 2004. Pertayaan yang lebih lanjut sebenarnya bagaimana peran partai politik ditengah-tengah masyarakat.
<br />Representasi Semu Wakil Rakyat
<br />Pemilu pertama setelah rezim otoriter soeharto, melahirkan sirkulasi elit-elit baru dari pentas politik nasional, lahirnya elit politik baru/para wakil rakyat diharapkan akan membawa kepentingan rakyat yang menjadi konstituennya, selain itu para wakil rakyat ini menjadi representasi dari partai politik, yang lebih jauh sebenarnya merupakan representasi rakyat yang ada di lembaga perwakilan rakyat. Hadirnya elit baru ini dimungkinkan karena salah satu dari fungsi partai politik, yakni rekrutmen politik. dimana partai politik berkewajiban untuk melakukan seleksi dan rekruitmen dalam rangka mengisi posisi dan jabatan politik tertentu. Dengan adanya rekruitmen politik maka dimungkinkan terjadinya rotasi/mobilitas politik. Tanpa rotasi dan mobilitas politik pada sebuah sistem politik, maka akan muncul diktatorisme dan stagnasi politik dalam sistem tersebut.
<br />Hadirnya para wakil rakyat di lembaga perwakilan rakyat, diharapkan membawa kepentingan para konstituennya, dan memperjuangkan apa yang menjadi kehendak rakyat, akan tetapi kehendak ini jauh dari harapan semula, banyak kasus dijumpai para wakil rakyat lebih mengendepankan kepentingan pribadi dan partainya, fenomena penggusuran yang dialami pedagang kaki lima, penggusuran warga stren kali; mencerminkan betapa lemahnya para wakil rakyat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat kecil dan kepentingan kelompok-kelompok marjinal di perkotaan. Ini sekali lagi menunjukkan representasi yang semu para wakil rakyat.
<br />Representasi yang semu dari para wakil rakyat, menunjukkan bahwa para wakil rakyat tidak berangkat dari dukungan rakyat dalam pengertian yang sesungguhnya. Mereka hanya menjadi kepentingan partai politik semata, banyak dari wajah-wajah anggota DPR yang tidak dikenal rakyat, akan tetapi mereka para wakil rakyat sebagai anggota DPR, hanya karena kedekatannya dengan elit partai politik atau memiliki modal financial yang cukup untuk membeli nomor urut pencalegkan, maupun untuk membeli suara pemilih. Secara social para wakil rakyat ini tidak tumbuh dan besar dengan pergumulan rakyat, sehingga menjadi wajar para wakil rakyat tidak pernah memperjuangkan kepentingan rakyat.
<br />Rekrutment politik yang diharapakan sebagai sarana terjadinya rotasi dan mobilitas politik dalam tubuh partai, dimana terjadinya pergantian elit politik lama, dengan elit politik baru, baik secara alamiah maupun sebagai sarana hukuman rakyat terhadap elit. Rakyat sebenarnya berada pada posisi yang sentral dalam proses demokrasi, elit partai yang menjadi anggota DPR yang tidak memperjuangkan kepentingan rakyat, akan dihukum dengan tidak memilihnya lagi pada pemilihan selanjutnya. Tetapi dalam kenyataannya partai politik selalu menghadirnkan elit-elit/caleg yang tidak mengakar pada rakyat, sehingga meskipun dimungkinkan untuk terjadi rotasi politik dalam tubuh partai, rakyat selalu mendapati para pemimpin yang tidak sesuai dengan kehendak rakyat, proses politik ini akan meminimalkan partisipasi politik rakyat, karena tiadanya wakil rakyat yang layak untuk dipilih.
<br />Memperkuat Peran Partai Politik
<br />Partisipasi politik rakyat menjadi elemen yang penting dalam proses demokrasi, tanpa partisipasi politik aktif rakyat, proses pemilihan umum hanya menjadi prosedur demokrasi saja, selain itu minimnya partisipasi politik rakyat, hasil pemilihan umum menjadi lemah/kehilangan legitimasinya. Ada beragam cara untuk mendorong partisipasi politik rakyat; antara lain, Pertama; memperkuat kembali peran dan fungsi partai politik, peran dan fungsi partai politik antara lain sebagai sarana sosialisasi politik, Rekrutmen politik. Partisipasi Politik. Pemadu Kepentingan. Pengendalian Konflik, dan Kontrol politik. Selain itu partai politik memiliki struktur sampai pada tingkat yang paling bawah hingga pada tingkat RW, struktur ini akan efektif sebagai sarana pendidikan politik warga. Partai politik juga menjadi alat yang legal untuk melakukan pendidikan politik, peran-peran ini bila dilakukan secara maksimal akan menggantikan peran LSM dalam melakukan pendidikan politik rakyat. Kedua; memperkuat keterwakilan/representasi wakil-wakil rakyat yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat, partai harus lebih selektif dengan mempertimbangkan banyak aspek untuk menentukan caleg yang akan diajukan pada pemilihan, baik menjadi caleg/calonwalikota, baik kapasitas/kemampuan secara personal juga rekam jejaknya, selain itu aspek representasi ini juga memasukkan unsur kedekatan caleg atau cawawali dengan rakyat, ada kesejarahan antara kandidat yang akan diusung dengan kerja-kerja pendampingan pada rakyat.
<br />
<br /><span style="font-size:78%;">catatan kaki
<br />Tema pengatar pada seminar “Peran Partai Politik dalam Mendorong Partisipasi Politik Masyarakat’ yang diselenggarakan LSM “Sinar Rakyat Indonesia“ dan Depdagri, pada Senin 17 Mei 2010; di Surabaya.
<br />Alumni Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, yang sekarang sebagai Direktur PUSDEK (Pusat Studi untuk Demokrasi Ekonomi dan Keadilan Sosial).</span></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7240500765066680569.post-4308828825991460642010-07-16T01:03:00.000+07:002010-07-16T01:04:27.657+07:00Sri Mulyani dan Bank Century<p style="text-align: justify;">Mundurnya Sri Mulyani dari posisi sebagai Menteri Keuangan pada Kabinet Indonesia Bersatu (jilid 2) mengejutkan banyak pihak. Selain karena tidak diperkirakan sebelumnya, mundurnya Sri Mulyani mengejutkan karena ia akan menduduki posisi sebagai <a href="http://www.hendria.com/2010/05/sri-mulyani-dan-bank-century.html">Managing Director World</a> Bank. Mulai awal Juni 2010, ia akan berkantor di kantor pusat World Bank di Washington.<br /><br />Kepergian Sri Mulyani memunculkan perdebatan yang kemudian terkesan terpolarisasi ke dalam dua kubu. Kubu pertama, membanggakan seraya menyayangkan banyaknya kelompok politik yang selama ini mempermasalahkan perannya dalam bailout Century.</p><div style="text-align: justify;" class="fullpost">Kubu kedua, mencurigainya sebagai cara Sri Mulyani menghindar dari kasus hukum skandal Century. Lantas, rasionalitas seperti apa yang bisa menghubungkan mundurnya Sri Mulyani dan diperolehnya posisi sebagai Direktur Bank Dunia dari “skenario” menghindar tersebut. Bagi kubu kedua, posisi di World Bank itu merupakan wujud perlindungan pusat neo-liberalis terhadap “sesamanya”. Sri Mulyani selama ini dikenal sebagai ekonom beraliran neo-liberal dan telah banyak berjasa bagi institusi-institusi penyokong neo-liberal seperti IMF dan Bank Dunia.<br /><br />Kubu kedua ini menyarankan agar setelah Sri Mulyani resmi mundur, langsung dicekal agar bisa mempertanggungjawabkan keterlibatannya dalam pengambilan kebijakan bailout Century.<br /><br />Terlepas dari pihak manapun yang benar dalam merespons mundurnya Sri Mulyani ini, satu hal yang pasti adalah kepergian Sri Mulyani akan berpengaruh terhadap penyelesaian kasus Century. Meskipun KPK telah menyatakan bahwa kepergian itu tidak berpengaruh, namun sulit dipikirkan bahwa keberadaan Sri Mulyani di luar negeri tidak akan menghasilkan kesulitan bagi KPK.<br /><br />Karena itu, KPK perlu menentukan langkah-langkah tepat agar perkembangan mengejutkan ini tidak merugikan penyelesaian kasus Century. Di sisi lain kita berharap semoga kepergian Sri Mulyani bukan bertujuan untuk menghindari kasus Century yang telah membelitnya selama berbulan-bulan. Karena itu, harapannya, Sri Mulyani menyelesaikan terlebih dahulu berbagai kasus yang menimpanya sebelum meninggalkan tanah air.<br /><br />Sebagai catatan akhir, kita perlu menuntut konsistensi berbagai pihak seperti KPK, DPR, simpul-simpul masyarakat sipil, dan media dalam penyelesaian kasus Century pasca mundur dan perginya Sri Mulyani ke Washington. Berbagai pihak perlu bekerja bersama untuk mencari jalan keluar yang efektif demi terselesaikannya skandal Century yang telah merugikan negara triliunan rupiah tersebut. </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7240500765066680569.post-46540216088945282352010-07-16T01:01:00.000+07:002010-07-16T01:02:22.660+07:00Sri Mulyani dan Bank dunia<p style="text-align: justify;">Langkah Presiden Bank Dunia mengambil Menteri Keuangan RI Sri Mulyani untuk dijadikan salah satu direktur memunculkan berbagai pertanyaan.<br /><br />Apakah langkah tersebut mencerminkan bahwa <a href="http://www.hendria.com/2010/05/sri-mulyani-dan-bank-dunia.html">Bank Dunia</a> tutup mata terhadap realitas bahwa Sri Mulyani sedang menghadapi masalah hukum di dalam negeri. Ataukah justru langkah ini mencerminkan perhatian penuh terhadap realitas tersebut.<br /><br />Kemungkinan terakhir ini menggambarkan bahwa Bank Dunia “menyelamatkan” Sri Mulyani. Lantas berkembang pertanyaan kenapa Bank Dunia merasa perlu “menyelamatkan” Sri Mulyani. Jawabannya adalah karena Sri Mulyani merupakan ekonom beraliran neo-liberal yang telah banyak berjasa menyebarkan “virus” ideologi ekonomi ini, suatu ideologi yang melandasi beroperasinya Bank Dunia.</p><div style="text-align: justify;" class="fullpost">Artinya, Sri Mulyani telah banyak menguntungkan Bank Dunia khususnya, dan institusi penyokong neo-liberalisme pada umumnya.<br /><br />Kemungkinan terakhir ini, jika benar adanya, menggambarkan bahwa institusi yang merupakan salah satu motor penggerak neo-liberal tersebut tidak segan-segan melakukan intervensi terhadap negara yang ingin diintervensinya. Dengan kata lain, Bank Dunia terlihat menerapkan kolonialisme.</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7240500765066680569.post-14750772285716247202010-07-16T00:55:00.000+07:002010-07-16T00:57:10.417+07:00Membongkar Gurita Cikeas<p style="text-align: justify;">Di balik skandal Bank Century<br /><br />“apakah penyertaan modal sementara yang berjumlah Rp 6,7 triliun itu ada yang bocor atau tidak sesuai dengan peruntukannya? Bahkan berkembang pula desasdesus, rumor, atau tegasnya fitnah, yang mengatakan bahwa sebagian dana itu dirancang untuk dialirkan ke dana kampanye Partai Demokrat dan Capres SBY; fitnah yang sungguh kejam dan sangat menyakitkan.…. sejauh mana para pengelola</p><div style="text-align: justify;">Bank Century yang melakukan tindakan pidana diproses secara hukum, termasuk bagaimana akhirnya dana penyertaan modal sementara itu dapat kembali ke negara?” Begitulah sekelumit pertanyaan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pidatonya hari Senin malam, 23 November 2009, menanggapi rekomendasi Tim 8 yang telah dibentuk oleh Presiden sendiri, untuk mengatasi krisis kepercayaan yang meledak di tanah air, setelah dua orang pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) – Bibit S. Ryanto dan Chandra M. Hamzah – ditetapkan sebagai tersangka kasus<br />pencekalan dan penyalahgunaan wewenang, hari Selasa, 15 September, dan ditahan oleh Mabes Polri, hari Kamis, 29 Oktober 2009. Barangkali, tanpa disadari oleh SBY sendiri, pernyataannya yang begitu defensif dalam menangkal adanya kaitan antara konflik KPK versus Polri dengan <a href="http://www.hendria.com/2010/03/membongkar-gurita-cikeas_18.html">skandal Bank Century</a>, bagaikan membuka kotak Pandora yang sebelumnya agak tertutup oleh drama yang dalam bahasa awam menjadi populer dengan julukan drama cicak melawan buaya. Memang, drama itu, yang begitu menyedot perhatian publik kepada tokoh Anggodo Widjojo, yang dijuluki “calon Kapolri” atau “Kapolri baru”, cukup sukses mengalihkan perhatian publik dari skandal Bank Century, bank gagal yang mendapat suntikan dana sebesar Rp 6,7 trilyun dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), jauh melebihi Rp 1,3 trilyun yang disetujui DPR‐RI. Selain merupakan tabir asap alias pengalih isu, penahanan Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah oleh Mabes Polri dapat ditafsirkan sebagai usaha mencegah KPK membongkar skandal Bank Century itu, bekerjasama dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Soalnya, investigasi kasus Bank Century itu sudah didorong oleh Bibit Samad Riyanto, yang waktu itu masih aktif sebagai Wakil Ketua Bidang Investigasi KPK (Batam Pos, 31 Agust 2009). Sedangkan BPK juga sedang<br />meneliti pengikutsertaan dana publik di bank itu, atas permintaan DPR‐RI pra‐Pemilu 2009. Dari berbagai pemberitaan di media massa dan internet, nama dua orang nasabah terbesar Bank Century telah muncul ke permukaan, yakni Hartati Mudaya, pemimpin kelompok CCM (Central Cipta Mudaya) dan Boedi Sampoerna, salah seorang penerus keluarga Sampoerna, yang menyimpan trilyunan rupiah di bank itu sejak 1998. Sebelum Bank Century diambilalih oleh LPS, Boedi Sampoerna, seorang cucu pendiri pabrik rokok PT HM Sampoerna, Liem Seng Thee, masih memiliki simpanan sebesar Rp Rp 1.895 milyar di bulan November 2008, sedangkan simpanan Hartati Murdaya sekitar Rp 321 milyar. Keduanya sama‐sama penyumbang logistik SBY dalam Pemilu lalu. Beberapa depositan kelas kakap lainnya adalah PTPN Jambi, Jamsostek, dan PT Sinar Mas. Boedi Sampoerna sendiri, masih sempat menyelamatkan sebagian depositonya senilai US$ 18 juta, berkat bantuan surat‐surat rekomendasi Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri waktu itu, Komjen (Pol) Susno Duadji, tanggal 7 dan 17 April 2009 (Rusly 2009: 48; Haque 2009; Inilah.com, 25 Febr. 2009; Antara News, 10 Ag. 2009; Vivanews.com, 14 Sept. 2009; Forum Keadilan, 29 Nov. 2009: 14).<br />(CANTUMKAN) SURAT REKOMENDASI BARESKRIM MABES POLRI, KOMJEN (POL) SUSNO DUADJI, TERTANGGAL 7 DAN 17 APRIL 2009 BANTUAN GRUP SAMPOERNA UNTUK HARIAN JURNAS Apa relevansi informasi ini dengan keluarga Cikeas? Boedi Sampoerna ditengarai menjadi “salah seorang penyokong SBY, termasuk dengan menerbitkan sebuah koran” (Rusly 2009: 48). Ada juga yang mengatakan” Sampoerna sejak beberapa tahun lalu mendanai penerbitan salah satu koran nasional (Jurnas/Jurnal Nasional) yang menjadi corong politik Partai SBY” (Haque 2009). Dugaan itu tidak 100% salah, tapi kurang akurat. Untuk itu, kita harus mengenal figur‐figur keluarga Sampoerna yang memutar roda ekonomi keluarga itu, setelah penjualan 97% saham PT HM Sampoerna kepada maskapai transnasional AS, Altria Group, pemilik pabrik rokok AS,Philip Morris, di tahun 2005, seharga sekitar US$ 2 milyar atau Rp 18,5 trilyun. Liem Seng Tee, yang mendirikan pabrik rokok itu di tahun 1963 bersama istrinya, Tjiang Nio, mewariskan perusahaan itu kepada anaknya, Aga Sampoerna (Liem Swie Ling), yang lahir di Surabaya tahun 1915. Aga Sampoerna kemudian menyerahkan perusahaan itu kepada dua orang anaknya, Boedi Sampoerna, yang lahir di Surabaya, tahun 1937, serta adiknya, Putera Sampoerna, yang lahir di Amsterdam, 13 Oktober 1947 (PDBI 1997: A‐789 – A‐796; Warta Ekonomi, 18‐31 Mei 2009: 43, 49). Sesudah menjual pabrik rokoknya kepada Philip Morris, Putera menyerahkan pengelolaan perusahaan pada anak bungsunya, Michael Joseph Sampoerna, yang telah mengembangkan holding company keluarga yang baru, Sampoerna Strategic, ke berbagai bidang dan negara. Misalnya, membeli 20% saham perusahaan asuransi Israel, Harel Investment Ltd dan saham dalam kasino di London, dan berencana membuka sejuta hektar kelapa sawit di Sulawesi, berkongsi dengan kelompok Bosowa milik Aksa Mahmud, ipar Jusuf Kalla (Investor, 21 Ag.‐3 Sept. 2002: 19; Prospektif, 1 April 2005: 48; Globe Asia, Ag. 2008: 52‐53, Ag. 2009: 100‐101). Namun ada seorang kerabat Boedi dan Putera Sampoerna, yang tidak pernah memakai nama keluarga mereka. Namanya Sunaryo, seorang kolektor lukisan yang kaya raya, yang mengurusi pabrik kertas Esa Kertas milik keluarga Sampoerna di Singapura yang hampir bangkrut, dan sedang bermasalah dengan Bank Danamon. Menurut sumber‐sumber penulis, sejak pertama terbit tahun 2006, Sunaryo mengalirkan dana Grup Sampoerna ke PT Media Nusa Perdana, penerbit harian Jurnal Nasional di Jakarta. Perusahaan itu kini telah berkembang menjadi kelompok media cetak yang cukup besar, dengan harian Jurnal Bogor, harian Jurnal Bogor, majalah bulanan Arti, dan majalah dwimingguan Eksplo. Boleh jadi, dwimingguan ini merupakan sumber penghasilan utama perusahaan penerbitan ini, karena penuh iklan dari maskapai‐maskapai migas dan alat‐alat berat penunjang eksplorasi migas dan mineral. Secara tidak langsung, dwi‐mingguan Explo dapat dijadikan indikator, sikap Partai Demokrat – dan barangkali juga, Ketua Dewan Pembinanya – terhadap kebijakan‐kebijakan negara di bidang ESDM. Misalnya dalam pendirian pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), yang tampaknya sangat dianjurkan oleh Redaksi Explo (lihat tulisan Noor Cholis, “PLTN Muria dan Hantu Chernobyl”, dalam Explo, 16‐31 Oktober 2008, hal. 106, serta berita tentang PLTN Iran yang siap beroperasi, September lalu dalam Explo, 1‐15 April 2009, hal. 79). Pemimpin Umum harian Jurnas berturut‐turut dipegang oleh Asto Subroto (2006‐2007), Sonny (hanya beberapa bulan), dan N. Syamsuddin Ch. Haesy (2007 sampai sekarang). Kedua pemimpin umum pertama bergelar Doktor dari IPB, dan termasuk pendiri Brighton Institute bersama SBY.<br />Selama tiga tahun pertama, ada dua orang fungsionaris PT Media Nusa Perdana yang diangkat oleh kelompok Sampoerna, yakni Ting Ananta Setiawan, sebagai Pemimpin Perusahaan, dan Rainerius Taufik sebagai Senior Finance Manager atau Manajer Utama Bisnis. Dalam Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Besar PT Media Nusa Perdana, yang dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi DKI Jakartam 5 Maret 2007, namanya tercantum sebagai Direktur merangkap pemilik dan penanggungjawab. Sementara itu, kesan bahwa perusahaan media ini terkait erat dengan Partai Demokrat tidak dapat dihindarkan, dengan duduknya Ramadhan Pohan, Ketua Bidang Pusat Informasi BAPPILU Partai Demokrat sebagai Pemimpin Redaksi harian Jurnal Nasional dan majalah Arti, serta Wakil Ketua Dewan Redaksi di majalah Eksplo. Sebelum menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Jurnas, Ramadhan Pohon merangkap sebagai Direktur Opini Publik & Studi Partai Politik Blora Center, think tank Partai Demokrat yang mengantar SBY ke kursi presidennya yang pertama. Barangkali ini sebabnya, kalangan pengamat politik di Jakarta mencurigai bahwa dana kelompok Sampoerna juga mengalir ke Blora Center. Soalnya, sebelum Jurnas terbit, Blora Center menerbitkan tabloid dwi‐mingguan Kabinet, yang menyoroti kinerja anggota‐anggota Kabinet Indonesia Bersatu. Sementara itu, Ramadhan Pohan baru saja terpilih menjadi anggota DPR‐RI dari Fraksi Demokrat, mewakili Dapil VII Jawa Timur (Jurnalnet.com, 25 Febr. 2005; Fajar, 21 Juni 2005; ramadhanpohan.com, 14 Okt. 2009). Kembali ke kelompok Jurnas dan hubungannya dengan Grup Sampoerna, di tahun 2008, Ting Ananta Setiawan mengundurkan diri dari jabatan Pemimpin Perusahaan, yang kini dirangkap oleh Pemimpin Umum, N. Syamsuddin Haesy. Namun nama Ananta Setiawan tetap tercantum sebagai Pemimpin Perusahaan, sebagai konsekuensi dari SIUP PT Media Nusa Perdana. Mundurnya Ananta Setiawan secara de facto terjadi seiring dengan mengecilnya saham Sampoerna dalam perusahaan media itu, dan meningkatnya peranan Gatot Murdiantoro Suwondo sebagai pengawas keuangan perusahaan itu. Isteri Dirut BNI ini, dikabarkan masih kerabat Ny. Ani Yudhoyono (McBeth 2007).<br />Berapa besar dana yang telah disuntikkan Grup Sampoerna ke kelompok Jurnas? Menurut SIUP PT Media Nusa Perdana yang diterbitkan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi DKI Jakarta, 5 Maret 2007, nilai modal dan kekayaan bersih perusahaan itu sebesar Rp 3 milyar. Namun jumlah itu, hanya cukup untuk sebulan menerbitkan harian Jurnal Nasional, yang biaya cetak, gaji, dan biaya‐biaya lainnya kurang lebih Rp 2 milyar sebulan. Berarti biaya penerbitan tahun pertama (2006), sekitar Rp 24 milyar. Tahun kedua (2007), turun menjadi sekitar Rp 20 milyar, setelah koran dan majalah‐majalah terbitan PT Media Nusa Perdana mulai menarik langganan dan iklan. Tahun ketiga (2008), sekitar Rp 18 milyar, dan tahun keempat (2009) sekitar Rp 15 milyar. Berarti kelompok media cetak ini telah menyedot modal sekitar Rp<br />90 milyar, mengingat Jurnal Bogor menyewa kantor sendiri di Bogor, dan punya rencana untuk berdiri sendiri, dengan perusahaan penerbitan sendiri. Selain biaya cetak yang tinggi untuk seluruh Grup Jurnas, pos gaji wartawan kelompok media ini tergolong cukup tinggi. Gaji pertama wartawan Jurnas tahun 2006 mencapai Rp 2,5 juta sebulan, tiga kali lipat gaji wartawan baru Jawa Pos Group.<br />Kecurigaan masyarakat bahwa keluarga Sampoerna tidak hanya menanam modal di kelompok media Jurnal Nasional, tapi juga di simpulsimpul kampanye Partai Demokrat yang lain, yang juga disalurkan lewat Bank Century, bukan tidak berdasar. Soalnya, Laporan Keuangan PT Bank<br />Century Tbk Untuk Tahun Yang Berakhir Pada Tanggal‐Tanggal 30 Juni 2009 dan 2008 menunjukkan bahwa ada penarikan simpanan fihak ketiga sebesar Rp 5,7 trilyun. Selain itu, Ringkasan Eksekutif Laporan Hasil Investigasi BPK atas Kasus PT Bank Century Tbk tertanggal 20 November 2009 menunjukkan bahwa Bank Century telah mengalami kerugian karena mengganti deposito milik Boedi Sampoerna yang dipinjamkan atau digelapkan oleh Robert Tantular dan Dewi Tantular sebesar US$ 18 juta – atau sekitar Rp 150 milyar ‐‐ dengan dana yang berasal dari Penempatan Modal Sementara LPS. PEMANFAATAN PSO LKBN ANTARA UNTUK BRAVO MEDIA CENTER:<br />Kemudian, sudah ada preseden bahwa dana publik dialihkan untuk biaya kampanye Partai Demokrat dan calon presidennya. Hal ini timbul, di mana ada perangkapan jabatan antara kader Partai Demokrat, khususnya yang duduk di dalam berbagai tim sukses, dengan jabatan komisaris atau fungsionaris badan‐badan usaha milik negara (BUMN) tertentu. Misalnya dalam kasus Rully Ch. Iswahyudi yang selain menjadi Direktur Komersial & IT Perum LKBN Antara, juga ikut mengelola Bravo Media Center. Mantan direktur Blora Center dalam Pemilu 2004 dan mantan Wakil Pemimpin Umum Harian Jurnal Nasional itu masih tercantum namanya sebagai Staf Khusus Bappilu Partai Demokrat, menurut situs resmi Partai Demokrat, 10 Juli 2009. Juga, sampai dengan 1 April lalu, namanya masih tercantum sebagai Direktur Media Center Barindo (Barisan Indonesia) (Gatra, 1 April 2009: 17). Padahal Barindo, yang ditokohi oleh Akbar Tanjung, adalah salah satu jejaring militan pendukung SBY (lihat Lampiran<br />I). Lalu, adalah kontribusi finansial Rully bagi kampanye Capres dan Cawapres SBY‐Boediono? Ada. Bersama CEO LKBN Antara, Dr. Akhmad Muchlis Jusuf, separuh dari dana PSO (Public Service Obligation) LKBN Antara yang berjumlah Rp. 40,6 milyar ke Bravo Media Center, salah satu tim kampanye SBY‐Boediono. PSO untuk LKBN Antara itu merupakan bagian dari alokasi PSO untuk empat BUMN – PELNI, PT Kereta Api Indonesia (KAI), LKBN Antara, dan PT Pos – sebesar Rp 1,7 trilyun yang disetujui oleh DPR‐RI, akhir 2008. Pengalihan separuh dana PSO LKBN Antara untuk Bravo Media Center ini menimbulkan ketegangan di dalam kantor berita itu. Barangkali, karena rasa tanggungjawab yang besar, serta susahnya mencari pekerjaan, tidak ada karyawan LKBN Antara yang keluar, namun informasi ini sudah sempat merembes ke luar.<br />Nah, kalau pengalihan sebagian uang rakyat untuk ‘dana siluman’ kampanye SBY‐Boediono – karena tidak dilaporkan ke KPU ‐‐, bagaimana dengan uang rakyat yang dititipkan pada Badan‐Badan Usaha Milik Negara yang lain, di mana pejabatnya juga menjadi anggota tim sukses<br />SBY‐Boediono? Baik yang terdaftar, maupun yang tidak terdaftar? = Bagaimana dengan dana PSO yang dialokasikan untuk PT KAI, yang komisarisnya, Yahya Ombara, juga menjadi anggota tim sukses SBYBoediono, sebelum ditarik, 10 Juni lalu? = Bagaimana dengan dana PSO yang dialokasikan untuk PT Pos, yang komisarisnya, Andi Arief, menjadi anggota Jaringan Nusantara? = Bagaimana dengan transparansi dana BUMN lain, yang komisarisnya juga anggota Jaringan Nusantara, seperti Aam Sapulete (PTPN VII, Lampung), Herry Sebayang (PTPN III, Sumut), dan Syahganda Nainggolan (PT PELINDO, yang mengelola pelabuhan Tanjung Priok, termasuk pelabuhan peti kemasnya)?<br />Pengalihan dana melalui Bank Century, LKBN Antara, atau korporasi‐korporasi lain, terdorong oleh gencarnya usaha SBY serta para pendukungnya, untuk memastikan pemilihannya kembali untuk masa jabatan kepresidenan yang kedua dan terakhir, sehingga terbukti jumlah pemilih Partai Demokrat telah melonjak hampir tiga kali lipat dari 7 % dalam Pemilu legislatif tahun 2004 menjadi sekitar 20% dalam Pemilu legislatif 2009.<br /><br />YAYASAN‐YAYASAN YANG BERAFILIASI KE SBY:<br />Selain melalui lebih dari selusin tim kampanye (lihat Lampiran 1), penggalangan dukungan politis dan ekonomis bagi SBY dimotori oleh yayasan‐yayasan yang berafiliasi ke SBY dan ke Ny. Ani Yudhoyono. Selanjutnya, yayasan‐yayasan yang berfungsi sebagai bagian dari strategi public relationship keluarga Yudhoyono, ternyata tidak luput dari usaha penggalangan dana bagi perusahaan‐perusahaan lama dan baru, yang kemungkinan besar juga menyumbangkan sebagian keuntungannya untuk biaya kampanye Partai Demokrat dan calon presidennya. Antara tahun 2005‐2006, telah didirikan dua yayasan yang berafiliasi ke SBY, yakni Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam yang didirikan tahun 2005 dan berkantor di Tebet, Jakarta Selatan , tapi selalu menyelenggarakan kegiatan‐kegiatan dzikirnya di Masjid Baiturrahim di Istana Negara; serta Yayasan Kepedulian Sosial Puri Cikeas, disingkat Yayasan Puri Cikeas, yang didirikan tanggal 11 Maret 2006 di kompleks perumahan Cikeas Indah (lihat Lampiran 2: Susunan Pengurus Yayasan Puri Cikeas). Kedua yayasan itu melibatkan sejumlah menteri (ada yang sekarang mantan menteri, seperti ), sejumlah perwira tinggi, sejumlah pengusaha, serta anggota keluarga besar SBY. Edhi Baskoro Yudhoyono, putra bungsu SBY dan Ny. Ani Yudhoyono, sebagai salah seorang Sekretaris Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam, dan Hartanto Edhie Wibowo, adik bungsu Ny. Ani Yudhoyono (lihat Box II: Dinasti Sarwo Edhie Wibowo) sebagai salah seorang bendahara. (CANTUMKAN)<br /><br />BOX II: DINASTI SARWO EDHIE WIBOWO<br />Menjelang Pemilu 2009, yayasan penopang kekuasaan SBY bertambah satu: Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian (KdK), yang dipimpin oleh Arwin Rasyid. Empat orang anggota Dewan Pembinanya sudah masuk ke dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II, yakni Djoko Suyanto, Purnomo Yusgiantoro, Sutanto, dan MS Hidayat (lihat Lampiran 3a: Visi, Misi, dan Struktur Pengurus YKDK). Yayasan ini dikelola oleh orang‐orang yang punya banyak pengalaman di bidang perbankan. Ketua Umumnya, Arwin Rasyid, Presiden Direktur CIMB Bank Niaga, sedangkan Bendahara Umumnya, Dessy Natalegawa. Dessy adalah adik kandung Menlu Marty Natalegawa yang sudah diproyeksikan akan diangkat menjadi Menlu dalam KIB II<br />(Gatra, 28 Okt. 2009: 16). Mereka tidak perlu lagi bingung memikirkan penggalangan dana (fund raising ) bagi yayasan ini, yang telah mendapat kucuran dana sebesar US$ 1 juta dari Djoko Soegiarto Tjandra, pemilik Bank Bali dan buron kelas kakap BLBI (Vivanews, 2 Okt. 2009; Mimbar Politik, 7‐14 Okt. 2009: 10‐11). Yayasan Puri Cikeas, Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam, dan Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian punya beberapa ciri yang sama. Ketiga yayasan itu tidak dipimpin oleh SBY sendiri, tapi oleh orang‐orang dari inner circle nya. Pola operasinya sama: memadu kedermawanan dengan mobilisasi dukungan politik dan ekonomi. Sejumlah perusahaan pendukung ketiga yayasan itu bukannya tidak mengharapkan keuntungan. Padahal, jangkauan kedermawanan ketiga yayasan itu membutuhkan dana yang sangat besar. Lagi pula, hasil auditing ketiga yayasan itu oleh auditor publik yang betul‐betul independen, belum pernah dilaporkan ke parlemen dan ke media massa. Soalnya, ketiga yayasan itu melibatkan sejumlah Menteri dan staf harian Presiden, serta menguasai dana milyaran rupiah. Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam tadinya melibatkan tiga orang Menteri (Hatta Rajasa, Sudi Silalahi, dan M. Maftuh Basyuni, yang tadinya Menteri Agama) sebagai Pembina, serta Brigjen Kurdi Mustofa, Sekretaris Pribadi Presiden SBY, sebagai Pengawas. Kegiatan yayasan ini telah menelan dana yang sebagian mungkin berasal dari anggaran negara. Misalnya, dana untuk kegiatan zikir dan doa di Masjid Baiturrahim di Kompleks Istana Negara di akhir 2007 dan 2008, yang diikuti antara 3000 dan 4000 jemaah, yang selesai berdoa, diundang makan malam di Istana Negara (Kompas, 31 Des. 2007; Tempo, 13 Jan. 2008: 34). Biaya makan malam ribuan jemaah zikir itu mungkin dapat diambil dari anggaran rutin kepresidenan yang telah disetujui oleh DPR‐RI. Tapi bagaimana dengan biaya ibadah umroh bagi lima rombongan ulama a 50 orang yang disponsori oleh yayasan ini, di mana setiap orang menelan biaya seribu real (Antara News, 16 Sept. 2008; Masayok 2008; website majelis dzikir)?<br />Boleh jadi, selain dari uang rakyat, melalui anggaran kepresidenan, pembiayaan yayasan ini dibantu oleh kedua orang bendaharanya. Selain Hartanto, ada bendahara lain, yakni Aziz Mochdar, mitra bisnis Bambang Trihatmodjo dan adik Muchsin Mochdar, ipar mantan Presiden B.J. Habibie. Selain itu, Aziz juga mitra Gunawan Yusuf, pemilik Sugar Group Company (SGC) yang sedang berkonflik dengan Anthony Salim tentang kepemilikan sejumlah perkebunan tebu di Lampung (Aditjondro 2003: 94; Tempo, 13 Mei 2008; Mahkamah, 15 April 2009: 28‐29; Gatra, 1 April 2009: 68‐ 69). Dibandingkan dengan Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam, Yayasan Puri Cikeas melibatkan lebih banyak pejabat, purnawirawan perwira tinggi, dan pengusaha. Ketua Dewan Pembinanya adalah Jero Wacik, Menteri Pariwisata dan Kebudayaan, pemilik tiga perusahaan yang bergerak di bidang hotel, biro perjalanan, bidang interior, dan disain tekstil, yakni PT Griya Batu Bersinar, PT Pesona Boga Suara, dan PT Putri<br />Ayu (Sriwijaya Post, 8 Sept. 2009; Warta Ekonomi, 16‐29 Nov. 2009: 49). Selain Menteri tadi, sejumlah mantan perwira tinggi terlibat di Yayasan Puri Cikeas. Ketua dan anggota Dewan Penasehat yayasan ini adalah mantan KSAD Jenderal (Purn.) Subagyo H.S., Komjen (Pol) Didi Widayadi, dan Mayjen TNI Bambang Sutedjo. Sedangkan Ketua Umum dan Wakil Ketua Umum Pengurus adalah Marsekal Madya (Purn.) Suratto Siswodihardjo, mantan Ketua INKOPAU, dan mantan Wakil Ketua MPRRI Letjen (Purn.) Agus Widjojo. Subagyo HS dan Agus Widjojo tetangga SBY di kompleks Cikeas Indah itu (Detiknews, 24 Sept. 2004). Para pebisnis yang namanya tercantum di struktur organisasi yayasan ini adalah Jero Wacik, yang sudah disebut di depan; Sofyan Basir, Dirut Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan mantan Dirut Bank Bukopin;<br />Anton Sukartono, putra Suratto Siswodiharjo yang juga Wakil Bendahara DPP Partai Demokrat dan CEO PT Bakrie Building Industries, anak perusahaan Bakrie & Brothers; Glen Glenardi, Direktur Utama Bukopin; Sukamdani Sahid Gitosarjono, pemimpin dan pemilik Sahid Group, serta anaknya, Hariadi Budi Sukamdani; Tanri Abeng dan anaknya, Emil Abeng, Presiden PT Walinusa Energi yang bergerak di bidang pertambangan batubara serta pembangunan pembangkit‐pembangkit tenaga listrik dan pipa‐pipa gas alam (Aditjondro 2003: 24‐5; Tempo, 13 Mei 2008, 2 Febr. 2009; Antara, 12 April 2006; Lampung Post, 1 Juni 2006; Sriwijaya Post, 8 Sept. 2009; Warta Ekonomi, 16‐29 Nov. 2009: 49; Bank Bukopin 2002; website Yayasan Puri Cikeas; website Partai Demokrat). Jangan lupa, Ketua Umum yayasan ini, Suratto Siswodihardjo, juga seorang pebisnis, setelah berkarier di bidang kemiliteran dan politik. Lahir di Solo tahun 1946, lulusan AKABRI Udara di Yogyakarta (1969) dan Sarjana Sosial Universitas Jakarta (1992) menjabat sebagai Kasi Sospol Mabes AU (1990‐1992), anggota DPRD‐DKI dari Fraksi ABRI dan Ketua INKOPAU (1998‐2001). Tahun 1998, Suratto menjadi komisaris PT Sweet Indo Lampung dan PT Indo Lampung Perkasa (1998‐2000) yang waktu itu masih milik Anthony Salim; anggota Dewan Audit Bank Bukopin ( 2006‐ 2007) dan komisaris Bank Bukopin (2001‐2002); komisaris PT Prosys Engineering International (2005); dan komisaris PT Angkasa Pura II (2006‐ 2007) yang mengelola bandara‐bandara di Jakarta, Medan, Palembang,<br />Banda Aceh, dan Pontianak (Angkasa Pura II 2007: 3, 15; Bank Bukopin 2002, 2006; Mahkamah, 15 April 2009: 28‐29).<br />Dengan modal yang telah terkumpul dari berbagai usahanya, Suratto membeli tanah seluas 25 hektar di Desa Cikeas, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor, waktu masih berharga Rp. 5000 per meter persegi tahun 1995. Tanah itu kemudian dikapling‐kapling, masing‐masing seluas seribu meter persegi, dan tahun berikutnya ditawarkan kepada sejumlah perwira tinggi di jajaran Hankam seharga Rp 35 ribu per meter persegi. Sejumlah jenderal membelinya, termasuk SBY, yang langsung membeli empat kapling, yang sekarang sudah bernilai Rp 1,5 hingga Rp 2 juta per meter persegi. Suratto membangun rumahnya bersamaan dan berseberangan dengan SBY tahun 1997. Jadi boleh dikata, Suratto adalah seorang pengembang yang berhasil, yang berkepentingan untuk mempertahankan SBY menjadi Presiden untuk periode keduanya, supaya harga tanah di kompleks Cikeas Indah semakin mahal (Detiknews, 24 Sept. 2004; Tempo, 21 Juni 2009: 28, 21 Juni 2009: 28; Harian Komentar, 27 Ag. 2007).<br />Boleh jadi, mereka ikut menyumbang kegiatan Yayasan Puri Cikeas, yang bergerak dalam penyelenggaraan Sekolah Alam Cikeas, penanggulangan bencana alam di DIY dan Jawa Tengah, warung murah, dan berbagai bentuk bantuan sosial, terutama buat penduduk pedesaan sekitar Cikeas. Sedangkan untuk bantuan pengobatan gratis, ada klinik keliling, gagasan Ny. Ani Yudhoyono (Harian Komentar, 27 Ag. 2007; Radar Bogor, 16 Ag. 2009).<br />Sejauh tidak menggunakan uang rakyat, dan murni dibiayai oleh pengusaha swasta, tidak ada masalah. Namun karena Sofyan Basir, Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI) adalah Wakil Ketua Dewan Pembina Yayasan Puri Cikeas, keuangan yayasan ini perlu diaudit dan dilaporkan ke parlemen, mengingat BRI merupakan BUMN. Secara khusus, para nasabah Bank Bukopin juga berkepentingan mengetahui laporan keuangan yayasan ini, sebab dirut Bank Bukopin, Glen Glenardi, adalah ketua Badan Pengawas yayasan ini. Padahal ketua umum yayasan ini, Suratto Siswodiharjo, pernah menjadi Komisaris (2001‐ 2002), kemudian anggota Tim Audit Bank Bukopin (2006‐2007). Walaupun Bukopin itu sendiri sudah badan usaha swasta, pemegang sahamnya termasuk koperasi‐koperasi pegawai negeri sipil (PNS), polisi, dan tentara. Suratto Siswodiharjo sendiri, masuk ke lingkungan Bukopin, karena ia pernah menjabat sebagai Ketua Induk Koperasi Angkatan Udara (INKOPAU). Dengan demikian dapat dikatakan, Bukopin mengelola sejumlah uang rakyat yang telah dibayarkan sebagai gaji pegawai negeri sipil, polisi, dan tentara.<br /><br />KAITAN YAYASAN‐YAYASAN TERSEBUT DI ATAS DENGAN BISNIS KELUARGA CIKEAS:<br />Namun yang paling penting, keuangan ketiga yayasan itu perlu diaudit dan dilaporkan ke parlemen dan media, karena dua orang anggota keluarga besar SBY dan Ny. Ani Yudhoyono, yakni Hartanto Edhi Wibowo, adik bungsu Ny. Ani Yudhoyono dan Edhi Baskoro Yudhoyono, putra bungsu SBY dan Ny. Ani Yudhoyono, yang sudah terjun dalam bisnis keluarga Cikeas, memegang jabatan‐jabatan strategis di Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam, masing‐masing sebagai bendahara dan sekretaris. Menariknya, Hartanto Edhie Wibowo, punya ikatan bisnis dengan adik dari M. Hatta Rajasa, Pembina Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam, melalui PT Power Telecom (Powertel). Hartanto adalah Komisaris Utama perusahaan itu, sementara adik Hatta Rajasa, Achmad Hafisz Tohir, salah seorang direkturnya, pakar telematika Roy Suryo Notodiprojo komisaris independen, sedangkan Dicky Tjokrosaputro, salah seorang pewaris Batik Keris, direktur utama PT Powertel. Waktu Hatta Rajasa jadi Menteri Perhubungan, Powertel mendapat proyek telekom serat optik dari PT KAI Tempo Interaktif, 27 April 2009; Warta Ekonomi, 15‐28 Juni 2009: 56; Indonesia Monitor, 7 & 14 April 2009; www.selular.co.id, 2 Juli 2008; www.jakartapress.com, 4 Agustus 2008).<br />PowerTel yang berkantor pusat di Jakarta, dengan enam kantor cabang di Pulau Jawa, mendapat berbagai proyek di lingkungan PT Kereta Api Indonesia (KAI) sewaktu Hatta Rajasa masih menjabat sebagai Menteri Perhubungan, yakni pembangunan double track jurusan Tanah Abang‐ Serpong bernilai Rp 333 milyar; pengadaan 16 unit kereta api listrik (KRL) bekas dari Jepang bernilai Rp 44,5 milyar; serta pengadaan jaringan serat optik di kawasan Jakarta, Bandung, dan Surabaya, dengan memanfaatkan jaringan rel PT KAI (idem). Ironisnya, berbagai proyek itu merupakan rekomendasi Proyek Efisiensi Perkeretaapian (PEP) PT KAI, yang dibiayai dengan hutang US$ 85 juta dari Bank Dunia. Rekomendasi itu ditindaklanjuti dengan hutang 41 milyar Yen dari pemerintah Jepang melalui JBIC (Japan Bank for International Cooperation) untuk pembangunan rel double track dan pembelian gerbong‐gerbong bekas dari Jepang, serta hutang US$ 194,88 juta dari pemerintah RRT untuk pembangunan rel double track antara Yogyakarta dan Kutoarjo (Nikmah & Wijiyati 2008: 1, 13‐4). Dengan kata lain, perusahaan kongsi keluarga Tjokrosaputro, Hatta Rajasa, dan Hartanto Edhie Wibowo mengambil keuntungan dari akumulasi hutang Republik Indonesia kepada Bank Dunia serta pemerintah Jepang dan RRT, sewaktu Hatta Rajasa menjabat sebagai Menteri Perhubungan. Kalau begitu, apakah SBY – siapapun wakil presidennya – dapat menyangkal bahwa ia menganut pola ekonomi neoliberalis, yang mendahulukan kepentingan modal besar ketimbang<br />kepentingan rakyat?<br />Pencatatan saham PowerTel dilakukan 18 September 2008, dengan PT BNI Securities sebagai penjamin. Timbul pertanyaan: apakah faktor perkerabatan antara pelaku‐pelaku bisnis itu dengan keluarga Cikeas, ikut mempermulus hubungan antara PowerTel dengan BNI Securities? Soalnya, Gatot Mudiantoro Suwondo, yang menjadi Dirut BNI sejak 6 Februari 2008, setelah sebelumnya menjadi direktur bank syariah Bank Danamon, masih kerabat Ny. Ani Yudhoyono, dari fihak isterinya (McBeth 2007; Tribun Batam, 7 Febr. 2008; www.liputan6.com/ekbis/?id=15450, 6 Febr. 2006).<br />Ternyata, ada aspek lain di balik perkongsian Dicky Tjokrosaputro dengan keluarga SBY dan Hatta Rajasa, yakni mencari perlindungan terhadap tekanan Bank Mandiri. Soalnya, melalui PT Hanson International Tbk yang bergerak di bidang pertambangan batubara, tiga bersaudara Benny, Teddy, dan Dicky Tjokrosaputro, masih berhutang Rp 152,5 milyar kepada Bank Mandiri, yang hanya bagian kecil dari hutang kelompok PT Suba Indah Tbk sebesar Rp. 1,28 trilyun kepada bank itu. Kata Abdul Rachman, Direktur Special Asset Management Bank Mandiri, meskipun salah satu debitur Suba Indah ada yang terkait dengan keluarga Cikeas, Bank Mandiri tidak akan mundur dalam menagih utang. “Suba Indah harus dikejar lagi. Utangnya masih besar, masih banyak. Ya tentu kami masih tagih terus. Kami akan kejar dengan cara apapun”, ujar Abdul Rachman (Warta Ekonomi, 2‐15 Nov. 2009: 69‐70; www.jakartapress.com, 4 Agustus 2008).<br />Kembali ke PT Powertel, boleh jadi, tidak ada hubungan bisnis khusus antara Gatot Mudiantoro Suwondo dengan Hartanto Edhie Wibowo. Sementara itu, adik bungsu Ny. Ani Yudhoyono itu juga dipercayai memangku berbagai jabatan penting dalam Partai Demokrat, sebagai Ketua Departemen BUMN. Sedangkan putra bungsu SBY, Edhie Baskoro Yudhoyono yang akrab dipanggil “Ibas”, dipercaya oleh ayah dan pamannya, Hadi Utomo, Ketua Umum DPP Partai Demokrat, menjadi Ketua Departemen Kaderisasi DPP Partai Demokrat. Ibas juga ikut Center for Food, Energy, and Water Studies (CFEWS), lembaga, yang digagas Heru Lelono, staf khusus Presiden SBY, yang pernah bikin heboh dengan “Enerji Biru” dan padi Super Toy (Tempo Interaktif, 3 Nov. 2008). Ibas juga sudah terjun ke dunia bisnis, khususnya ke produksi kue kering, dengan menjadi Asisten Direksi PT Gala Pangan, menurut situs kpu.go.id. Untuk mengetahui riwayat bagaimana ia mulai terjun ke bisnis itu, bacalah Box I berikut:<br /><br />BOX I: KISAH IBAS DAN BISNIS KUE KERINGNYA<br />EDHIE Baskoro Yudhoyono baru selesai menempuh pendidikan diplomanya di Curtin University of Technology, Perth, Western, Australia, 26 Februari 2005, ketika keluarga Cikeas menggelar rapat keluarga untuk membahas masa depan putra bungsu SBY itu. Materi pembicaan seputar keinginan Ibas ‐‐ demikian sapaan lajang kelahiran Bandung, 24 November 1980 itu ‐‐ untuk menerapkan dua gelar diploma yang diraihnya selama tujuh tahun, Bachelor of Commerce Finance dan Electronic Commerce, ke dunia kerja. Namun, pembicaraan yang berlangsung serius tapi santai itu menemui jalan buntu. Posisi SBY sebagai presiden membuat mereka kesulitan mencari kata temu untuk menentukan bisnis apa yang cocok untuk Ibas. SBY dan anak‐istrinya tentu tidakbisa sembarangan melakukan bisnis. “SBY sangat memahami hal itu,” ujar sumber di lingkungan keluarga Cikeas kepada Indonesia Monitor, pekan lalu. Alhasil, obrolan keluarga yang diselingi hidangan singkong goreng, jajanan pasar, dan teh manis itu pun tidak menghasilkan putusan apapun. Sebagai kepala keluarga, SBY berusaha membesarkan hati putra kesayangannya itu. “Nggak usah buru‐buru. Insya Allah, nanti pasti akan ada jalan,” ujar SBY, seperti diungkapkan sumber. Hingga suatu hari, masih menurut sumber, kegalauan keluarga Cikeas itu sampai ke telinga seorang konglomerat pemilik usaha food manufacture, salah satu produknya adalah kopi bubuk kemasan merek terkenal. Selama ini, pengusaha keturunan itu sudah kenal dekat dengan keluarga Cikeas. “Dia menawarkan diri untuk mendidik Ibas berbisnis,” ungkapnya. Ibas dan ‘suhu bisnisnya’ sepakat memproduksi biskuit dengan merek dagang Bisco di bawah bendera PT Gala Pangan. Setelah itu, mereka mencari lokasi pabrik. Yang dipilih sebagai basis usahanya adalah kawasan industri Jababeka 2, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, sekitar 35 km arah timur Jakarta, tepatnya di Jalan Industri IV Blok PP‐3. Menurut sumber, lokasi PT Gala Pangan berada di bagian belakang kawasan industri Jababeka. Jalanan masuk ke lokasi dulunya rusak parah. “Namun, setelah tahu di situ dibangun pabrik milik Ibas, pihak pengelola Jababeka langsung meng‐hotmix jalan menuju kawasan tersebut,” tuturnya. Tak hanya aspal hotmix. Sesuai kebutuhan, pabrik dengan omzet 1‐2,5 juta dolar AS itu membutuhkan gas LPG dalam jumlah banyak untuk mengaktifkan pengovenan. Saat itu, pipa gas LPG belum masuk kawasan itu. “Tak selang lama, pipa gas dibangun masuk ke kawasan tersebut,” ujarnya. Kini, PT Gala Pangan sudah berproduksi. Dengan memperkerjakan karyawan sebanyak 150 orang, biskuit produk Gala Pangan dilempar ke pasar ekspor, meliputi pasar‐pasar utama di Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa Barat, Eropa Timur, Asia Timur, Asia Tenggara, Afrika, dan Oceania. Ketika Indonesia Monitor berkunjung ke pabrik tersebut, Jumat (12/6) pagi, suasana masih terlihat sepi. Lokasi PT Gala Pangan cukup mewah dan strategis. Dibanding pabrikpabrik lain di kawasan tersebut, Gala Pangan tampak istimewa. Pagarnya bagus, halamannya luas, dan bangunan gedungnya terlihat rapi. Terletak di sebuah pertigaan Jalan Industri Selatan IV dan Jalan Industri Selatan V, pabrik Gala Pangan terbagi dalam tiga bagian utama, yakni di bagian depan untuk kantor, bagian sisi kiri dan kanan untuk produksi dan gudang. Halaman parker cukup luas. Namun, yang paling istimewa adalah saat<br />pabrik tersebut akan dibangun. “Peletakan batu pertama oleh Pak SBY,” ujar seorang sekuriti<br />PT Gala Pangan kepada Indonesia Monitor. Dia menuturkan, pabrik kue tersebut memang milik bas. Pada awal‐awal produksi, Ibas sering datang ke pabrik tersebut. Tapi, menurut dia, akhir‐akhir ini Ibas jarang berkunjung. “Pak Ibas sudah lama tidak ke sini. Sejak maju sebagai caleg, dia jarang ke sini, mungkin sibuk,” ujarnya. Dalam ingatannya, Ibas terakhir datang ke pabriknya sekitar lebaran haji tahun lalu. “Itu pun hanya sebentar,” imbuhnya. Menurut sekuriti yang namanya dirahasiakan, ia tidak tahu mengapa Ibas jarang berkunjung ke pabrik miliknya. “Sepengetahuan saya, Pak Ibas masih menjadi komisaris di sini. Sebab dulu sebelum maju jadi caleg, dia sering datang ke sini, sekarang saja yang agak jarang,” lanjutnya.<br />Keterlibatan Ibas dalam bisnis biskuit secara implisit dibenarkah oleh Staf Khusus Ibu Negara Ani Yudhoyono, Nurhayati Ali Assegaf. Awalnya, Wasekjen Partai Demokrat itu tidak mau mengaku soal bisnis Ibas. “Saya nggak tahu, jujur saya nggak tahu,” ujar Nurhayati kepada Indonesia Monitor, Kamis (11/6). Setelah didesak, akhirnya ia mengakui, meski tidak yakin. “Jujur saya nggak tahu kalau Mas Ibas punya pabrik itu. Saya memang pernah dengar Mas Ibas, kalau nggak salah, berbinis kue kering. Itu kalau nggak salah ya. Tapi, pastinya saya nggak tahu bisnis apa. Yang saya tahu, Mas Ibas di politik,” paparnya. Namun, kalau pun benar berbisnis, menurut Nurhayati, tidak ada salahnya, karena bisnis yang digeluti adalah di sektor swasta dan tidak terlibat kerjasama dengan perusahaan BUMN maupun BUMD. “Apa salahnya anak presiden berbisnis,” gugatnya. Argumen Nurhayati didukung oleh Sekjen DPP Partai Demokrat Marzuki Alie. Menurutnya, yang dimaksud larangan berbisnis, seperti yang pernah dilontarkan SBY, adalah berbisnis dengan mengambil dana APBN. “Itu konkretnya. Kalau ada anak pejabat berbisnis, punya pabrik, punya industri yang tidak ada kaitannya dengan pemerintah, tidak ada kaitannya dengan APBN, ya boleh‐boleh saja kan,” ujar Marzuki Alie kepada Indonesia Monitor, Selasa (9/6).<br />sumber: Sri Widodo, Moh Anshari http://www.indonesia‐monitor.com/main/index.php?option=com_content&task=view&id= 2473&Itemid=33<br /><br />YAYASAN‐YAYASAN YANG BERAFILIASI KE NY. ANI YUDHOYONO:<br />Bukan hanya SBY, melainkan isterinya, Ny. Ani Yudhoyono, yang aktif membina beberapa yayasan. Yayasan‐yayasan ini diketuai oleh beberapa orang isteri Menteri dan pejabat kenegaraan yang lain, yakni Yayasan Mutu Manikam Nusantara, yang diketuai Ny. Herawati Wirayuda (isteri Menlu waktu itu); Yayasan Batik Indonesia, yang diketuai oleh Yultin Ginanjar Kartasasmita (isteri Ketua DPD Ginanjar Kartasasmita), dan Yayasan Sulam Indonesia, yang diketuai oleh Ny. Triesna Wacik, isteri Jero Wacik, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, merangkap Ketua Dewan Pembina Yayasan Puri Cikeas. Di antara ketiga yayasan itu yang paling kontroversial adalah Yayasan Mutu Manikam Nusantara. Bukan karena diketuai oleh isteri Menlu waktu itu, tapi karena jabatan Bendaharanya dipegang oleh Artalyta Suryani, yang lebih akrab dengan panggilan “Ayin”. Kedekatan Ayin – yang tertangkap tangan menyogok jaksa Urip Tri Gunawan dengan Ani, mengurangi ketegasan KPK dalam membongkar seluruh jejaring korupsi di belakang sang ‘markus’ (makelar kasus), khususnya Syamsul Nursalim, boss Gajah Tunggal, yang terlibat dalam skandal BLBI yang masih menyisakan kerugian Rp 4,2 trilyun bagi Negara. Ironisnya, Ny. Ani Yudhoyono ‐lah yang meresmikan Alun‐Alun Indonesia milik Syamsul Nursalim, tanggal 29 Oktober 2007 (lihat Lampiran 4: Kemilau Persengkongkolan di Mutu Manikam). Yayasan kedua yang ikut didukung oleh Ny. Ani Yudhoyono adalah Yayasan Batik Indonesia yang diketuai oleh Ny. Yultin Ginanjar Kartasasmita. Dalam berbagai pameran di dalam dan luar negeri yang (ikut) diselenggarakan oleh yayasan ini, telah menonjol produk perusahaan baru bermerek Allure. Perusahaan baru itu segera mengundang perhatian karena dua hal. Pertama, lebih dari selusin gerai perusahaan itu telah dibuka di Indonesia, Singapura dan Malaysia, sementara beberapa gerai sedang dirintis di London dan Moskow. Kedua, batik Allure telah mengangkat menantu SBY yang pernah dinobatkan menjadi duta batik Indonesia (Annisa Pohan) dan anaknya (Aira Yudhoyono) sebagai ikon perusahaan itu.<br />Adanya potensi konflik kepentingan antara Ny. Ani Yudhoyono sebagai pembina yayasan itu, dan perusahaan batik baru yang telah mengorbitkan anak dan cucunya sebagai ikon, belum banyak disorot orang. Termasuk ketika koleksi batik Ny. Ani Yudhoyono dan Ann Durham, ibunda Presiden AS, Barack Husein Obama di Alun‐Alun Indonesia di Grand Indonesia Shopping Town, 17 November yang lalu. Publik tampaknya juga tidak tahu, bahwa gedung itu milik Gajah Tunggal, salah satu konglomerat yang belum membereskan hutangnya pada Negara, dalam kerangka BLBI (lihat Lampiran 5: Allure meluncur di Alur Yayasan Batik Indonesia).<br />Yayasan ketiga yang didukung oleh Ny. Ani Yudhoyono adalah Yayasan Sulam Indonesia, yang diketuai Ny. Triesna Wacik, isteri Menteri Kebudayaan & Pariwisata, Jero Wacik. Di sini ada juga potensi konflik kepentingan antara keluarga Jero Wacik dengan yayasan itu, dan antara keluarga Wacik dengan keluarga Cikeas. Soalnya, salah satu perusahaan milik Menbudpar yang juga Ketua Dewan Pembina Yayasan Puri Cikeas, PT Puri Ayu yang berkantor di Bali dan Jakarta, bergerak di bidang disain tekstil. Selain itu, kita juga masih ingat bahwa Jero Wacik adalah Ketua Dewan Pembina Yayasan Puri Cikeas.<br />Para pengusaha yang bergerak di bidang produksi dan pemasaran mutu manikam, batik, dan sulaman, dapat ikut menikmati promosi yang dibayar dari uang rakyat, dengan berlindung di bawah ketiga payung yayasan yang berafiliasi ke Ny. Ani Yudhoyono ini. Namun yang paling menimbulkan tanda tanya bagi tokoh‐tokoh masyarakat adalah kedekatan Artalyta Suryani (“Ayin”) dengan Ani Yudhoyono, berkat posisi Artalyta sebagai Bendahara Yayasan Mutu Manikam Nusantara. Soalnya, diduga berkat kedekatan antara Ayin dan Ani, salah seorang taipan besar pengemplang dana BLBI, yakni Syamsul Nursalim, dapat lolos dari jerat<br />hukum, seperti di era Gus Dur maupun Megawati Soekarnoputri (lihat Lampiran 4). Peranan yayasan‐yayasan yang berafiliasi ke SBY dan Ny. Ani Yudhoyono dalam memobilisasi dukungan politik dan ekonomi untuk pemilihan kembali SBY sebagai Presiden untuk kedua dan terakhir kalinya, membuka jalan bagi berbagai jenis pelanggaran hukum yang dilakukan oleh para pendukungnya. Soalnya, duplikasi anggota pengurus yayasan‐yayasan itu dengan berbagai tim sukses yang tidak secara resmi terdaftar personalia maupun sumber‐sumber pembiayaannya (lihat Lampiran 1), melancarkan jalan bagi penyaluran sumbangan bagi kampanye Pemilu legislatif Partai Demokrat dan Pilpres SBY‐Boediono , melampaui batas‐batas yang diperkenankan oleh Pasal 131 dari UU No. 10/2008, yakni Rp satu milyar rupiah untuk perorangan) dan lima milyar rupiah untuk kelompok, perusahaan dan badan usaha non‐pemerintah. Maklumlah, pelanggaran terhadap Pasal 131, yang diatur dalam Pasal 276, diancam pidana penjara antara enam sampai 24 bulan, serta denda antara satu sampai lima milyar rupiah. Kecurigaan itu sangat beralasan, apabila keuangan yayasan‐yayasan itu tidak di‐audit oleh auditor yang independen. Potensi konflik kepentingan antara keuangan publik yang dikelola oleh pemerintah, dan keuangan yayasan‐yayasan itu, barangkali paling besar pada Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian. Soalnya, tiga orang Menteri dan seorang pejabat setingkat Menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu II merangkap sebagai anggota Dewan Pembina yayasan itu, yakni Djoko Suyanto, Purnomo Yusgiantoro, M.S. Hidayat dan Sutanto. Sedangkan Bendahara yayasan itu dijabat oleh Dessy Natalegawa, adik kandung Menlu Marty<br />Natalegawa.<br />Ketiga yayasan yang dibina oleh Ny. Ani Yudhoyono, yakni Yayasan Mutu Manikam Nusantara, Yayasan Batik Indonesia, dan Yayasan Sulam Indonesia, juga berpotensi untuk melakukan kegiatan yang tumpang tindih dengan Departemen‐Departemen atau lembaga‐lembaga yang dipimpin – atau pernah dipimpin ‐‐ oleh suami‐suami para ketua yayasan yayasan itu, yaitu Departemen Luar Negeri dalam hal Yayasan Mutu Manikam Nusantara, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam hal Yayasan Batik Indonesia, dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dalam hal Yayasan Sulam Indonesia.<br />Di samping itu, ketua‐ketua yayasan yang dibina oleh Ny. Ani Yudhoyono itu adalah anggota Solidaritas Isteri Kabinet Indonesia Bersatu<br />(SIKIB), yang juga dipimpin oleh isteri‐isteri Presiden dan Wakil Presiden. Duplikasi antara kegiatan yayasan dan instansi‐instansi pemerintah, juga sangat berpotensi terjadi pada yayasan‐yayasan yang berafiliasi dengan SBY sendiri, misalnya dengan Departemen Agama, dalam hal<br />Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam dengan program pengiriman ulama berumroh ke Arab Saudi, serta dengan berbagai Departemen dan Pemerintah Daerah, dalam hal Yayasan Puri Cikeas dan Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian. Itu sebabnya, auditing terhadap keuangan yayasan‐yayasan itu menjadi semakin penting.Bukan cuma duplikasi, malah dualisme pemerintahan, dapat terjadi apabila yayasanyayasan ini dibiarkan berkembang dengan bebas, seperti yang telah kita alami di masa kediktatoran Soeharto, dengan seribu satu yayasannya (lihat Aditjondro 2003, Ismawan 2007: 66‐89).<br /><br />PELANGGARAN‐PELANGGARAN UU PEMILU OLEH CALEGCALEG PARTAI DEMOKRASI :<br />Potensi pelanggaran UU Pemilu karena perangkapan jabatan sejumlah pejabat Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II dengan anggota kepengurusan yayasan‐yayasan itu, masih dibarengi dengan pelanggaran hukum yang telah dilakukan oleh sejumlah kader Partai Demokrat.<br />Pemilu kali ini ditandai wabah pembelian suara yang semakin terangterangan, dibandingkan dengan pemilu‐pemilu yang lalu. Padahal, praktek ini jelas‐jelas dilarang oleh UU No. 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD. Pasal 84 melarang semua pelaksana, peserta dan petugas kampanye “menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye”. Sedangkan Pasal 87 melarang pelaksana kampanye “menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung atau tidak langsung agar memilih Partai Politik tertentu; memilih calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota tertentu; atau memilih calon anggota DPD tertentu”. Sanksinya, penjara antara enam sampai 24 bulan serta denda antara Rp. 6.000.000 dan Rp. 24.000.000, menurut Pasal 270 dan 274. Padahal praktek pembelian suara yang dilakukan oleh caleg‐caleg Demokrat di berbagai wilayah, merupakan salah satu faktor kemenangan Partai Demokrat yang begitu fantastis, yakni melonjak nyaris tiga kali lipat dari 7% menjadi 20% lebih. Ambillah sebagai contoh di Sumatera Utara. Waktu kampanye pemilu lalu, Marlan Nainggolan, caleg PDP di Tapanuli Utara (Taput) membagi‐bagi kerbau dan babi ke pemilih, Sihar Sitorus, anak DL Sitorus, pengusaha pembalakan hutan, yang menjadi caleg PPRN, menyumbang Rp 3 juta ke gereja HKBP dekat bandara Silangit. Sedangkan Fernando Sihombing, caleg Golkar membagi sekarung pupuk kepada setiap pemilih. Namun itu semua belum apa‐apa dibandingkan dengan “sumbangan” Jhonny Allen Marbun, caleg Demokrat yang terlibat kasus suap Rp 1 milyar untuk proyek Dephub (Tempo, 5 April 2009). Ia berulang kali mengumpulkan petani di Humbang Hasundutan (Humbahas), Taput, dan Samosir, dan membagi‐bagi puluhan ton bibit jagung kepada mereka. Januari lalu, di Dolok Sanggul, ibukota Humbahas, ia menyerahkan 500 baju batik buat para kepala desa, 21 unit komputer untuk sekolah, dan Rp 200 juta untuk perbaikan gereja dan mesjid. Sebelumnya, 4 Januari 2009, dalam upacara di tanah lapang Pangururan, Samosir, yang dihadiri Hadi Utomo, Ketua Umum DPP Partai Demokrat yang ipar SBY, selain membagi‐bagi bibit jagung kepada petani, Jhonny Allen menyerahkan Rp 300 juta untuk perbaikan gereja dan mesjid serta 20 unit komputer untuk sekolah. Berbagai “sumbangan” itu ikut mendorong Jhonny Allen memenangkan tiket Demokrat ke Senayan, untuk kedua kalinya, dengan memperoleh 91.763 suara.<br />Pelanggaran terhadap Pasal 84 dan 87 UU No. 10/2008, tidak cuma terjadi di Sumatera Utara, tapi juga di basis‐basis kemenangan Partai Demokrat yang lain, yang sempat penulis amati, seperti di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, dan di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Di Poso, Amsal Hasyim, seorang caleg dari Partai Demokrat, menjanjikan pembagian pesawat televisi dan traktor tangan buat mereka yang mau memilih partai berwarna biru itu. Janji itu, baru direalisasikan akhir November lalu, dan diterima dengan suka cita. Rupanya rakyat di bekas daerah konflik itu tidak menyadari bahwa janji yang diobral kader Partai Demokrat itu, melanggar Pasal 87 UU No. 10/2008 itu. Walhasil, Amsal Hasyim, kontraktor yang disuruh oleh Piet Inkiriwang, purnawirawan polisi yang Bupati merangkap ketua DPC Partai Demokrat Kabupaten Poso, untuk mengetuai PAC Partai Demokrat Kecamatan Pamona Utara di Tentena, berhasil menjadi anggota DPRD Kabupaten Poso dari Partai Demokrat. Di Jawa Tengah, terjadi juga banyak kasus pembelian suara (vote buying) atau ‘politik uang’ (money politics), yang melibatkan caleg Partai Demokrat maupun partai lain, namun hanya sedikit yang ditangani oleh Panwalu dan disidangkan. Yang ditangani oleh Panwaslu misalnya adalah laporan dari YSA Widayana, warga Karang, Plumbon, Mojolaban di Kabupaten Sukoharjo. Ia melaporkan tindakan Bambang yang meminta warga untuk memilih Partai Demokrat (Seputar Indonesia, 11 April 2009). Lebih menghebohkan lagi adalah kasus pelanggaran Pemilu 2009<br />yang mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Bantul, hari Jumat, 8 Mei 2009. Kedua terdakwa dalam kasus itu adalah Sri Yuli Waryati, caleg untuk DPRD Bantul dari Dapil 2 dan Siti Shoimah, caleg DPRD DIJ dari daerah pemilihan Kabupaten Bantul. JPU Widagdo M. Petrus menuntut kurungan tiga hingga 12 bulan penjara dengan denda Rp 10 juta, subsider enam bulan kurungan, hanya karena kedua terdakwa menggelar pasar murah di Dusun Mangir Lor, Desa Sendangsari, Pajangan, Bantul, DIY (Radar Jogja, 9 Mei 2009). Ceritanya begini. Pada saat bazar murah digelar, Minggu, 29 Maret, Sri Yuli Waryati membagi kupon pembelian sembako, yang hanya diberikan kepada warga yang telah mengisi formulir dan menjadi anggota Partai Demokrat. Hari Minggu berikut, 5 April, Sri Yuli Waryati memperkenalkan Shoimah kepada masyarakat di Lapangan Mangir Loro, dengan membagi‐bagi uang sebesar Rp 5 ribu seorang dan selembar kaos oblong (idem).<br />Semua itu belum apa‐apa, dibandingkan dengan pembelian suara yang dilakukan oleh putra bungsu SBY, Edhie Baskoro Yudhoyono (EBY), alias Ibas, di kampung halaman ayahnya di Pacitan, Jawa Timur, April lalu. Menurut laporan dua orang saksi, tim kampanye EBY membagi‐bagi amplop berisi uang Rp 10 ribu disertai foto EBY ke calon‐calon pemilih di Desa Clembem, Kecamatan Jambon, Kabupaten Ponorogo, 3 April lalu. Namun setelah kasus ini terungkap di berbagai media lokal dan media online, bukan Bawaslu dan Panwaslu yang bergerak, melainkan Polri, sedangkan para pimpinan media yang bersangkutan mendapatkan teguran keras dari jurubicara kepresidenan, Dino Patti Djalal. Kedua saksi –M. Naziri dan Bambang Krisminarso – serta pimpinan situs JakartaGlobe.com dan Okezone.com, dan wartawan Harian Bangsa diperiksaoleh polisi, dengan tuduhan pencemaran nama baik EBY juncto pelanggaran pasal 45 ayat 1 UU No. 11/2008 tentang Teknologi Informasi juncto pasal 55 KUHP. Akhirulkalam, Kapolda Jatim Irjen (Pol) Anton Bachrul Alam membantah bahwa EBY telah melakukan money politics, malah sebaliknya menuduh para saksi dan pekerja media melakukan pencemaran nama baik putra presiden, yang juga berarti, penistaan terhadap presiden (Antara News, 8 April 2009). Walaupun semua tertuduh akhirnya dibebaskan, EBY pun dibebaskan dari tuduhan pelanggaran Pasal 84 UU No. 10/2008, dan berhasil mengalahkan para caleg lain, termasuk Ramadhan Pohon, pesaingnya yang separtai, mendapatkan tiket ke Senayan. Padahal, seperti kesaksian salah seorang pimpinan media yang diperkarakan, pembagian amplop berisi uang dan foto EBY itu betul‐betul terjadi. Ada lagi pelanggaran pasal dalam UU No. 10/2008, yang telah menghasilkan banyak suara pemilih buat Partai Demokrat, malah kemenangan yang hampir mutlak di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Dalam Pemilu lalu mantan kombatan yang beralih menjadi anggota Partai Aceh (PA) bebas “menuntun” pemilih yang tua dan butahuruf mencontreng caleg dan logo PA dan Demokrat, terutama di bekas basis GAM, tanpa dihalangi aparat keamanan. Makanya, di sebuah kecamatan di Kabupaten Pidie, Demokrat mendapatkan 100% suara untuk DPR‐RI dan PA 100% suara untuk DPRA dan DPRK. Hasilnya, perolehan suara teratas di Aceh direbut oleh PA, disusul oleh Demokrat, Golkar, dan PKS. Sedangkan partai lokal lain, hanya memperoleh beberapa kursi di DPRA dan DPRK‐DPRK. Makanya, perlu dipertanyakan, apakah “bantuan” yang diberikan<br />oleh para kader PA untuk menuntun para pemilih yang tua dan buta huruf, untuk secara khusus mencontreng logo dua partai saja, satu untuk duduk di DPR‐RI dan satunya lagi untuk duduk di DPR Aceh dan DPR Kabupaten, tidak bertentangan dengan Pasal 156 UU No. 10/2008, ayat 1 dan 2 yang berbunyi sebagai berikut: Ayat (1): Pemilih tunanetra, tunadaksa, dan yang mempunyai halangan fisik lain saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh orang lain atas permintaan pemilih.<br />Ayat 2: Orang lain yang membantu pemilih dalam memberikansuara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan<br />pilihan pemilih. Memang, kebanyakan pemilih yang tua dan buta huruf, belum tentu menderita halangan fisik yang digambarkan dalam Pasal 156 ini. Namun inti pasal ini adalah bahwa semua orang harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk memilih calon yang diharapkannya dapat membawakan aspirasinya. Nah, apakah dengan menggiring secara halus satu bagian yang cukup besar untuk memilih satu partai nasional, yang belum dikenalnya, jiwa pasal ini terpenuhi? Atau justru dilanggar?<br />Melihat banyaknya pelanggaran UU Pemilu yang telah terjadi selama Pemilu legislatif dan Pilpres lalu, mulai dari besarnya biaya kampanye yang dikelola oleh tim‐tim siluman yang tidak terdaftar personalia maupun anggarannya, pembelian suara lewat pembagian uang dan barangkepada pemilih, termasuk yang dilakukan oleh Edhi Baskoro Yudhoyono, bantuan negara asing seperti melalui IFES (International Foundation for Electoral Systems), ornop AS yang dibantu oleh USAID, yang dilibatkan oleh KPU dalam proses penghitungan suara, serta penggiringan suara sebagian besar pemilih di Aceh, maka legalitas hasil Pemilu yang lalu patut<br />dipertanyakan. Walaupun partai‐partai lain ikut menjalankan berbagai pelanggaran UU Pemilu itu, namun Partai Demokrat, yang merupakan kendaraan politik incumbent president, tidak menunjukkan teladan dalam mematuhi UU Pemilu. Hanya saja, kenetralan KPU dan Bawaslu yang patut dipertanyakan, serta pembelokan perhatian publik akibat peledakan bom di dua hotel di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, 17 Juli lalu, membuatsemua kecurangan dalam pelaksanaan Pemilu belum sempat disorot secara mendalam.<br /><br />KESIMPULAN<br />Uraian dalam buku ini mudah‐mudahan tidak hanya menjawab rahasia di balik skandal Bank Century, melainkan lebih luas lagi, yakni menjawab rahasia di balik kemenangan yang begitu fantastis dari Partai Demokrat, yang naik tiga kali lipat dalam satu periode pemerintahan, dari<br />sekitara 7 % menjadi sekitar 20%. Penggalangan dana yang luar biasa, serta besarnya pembelian suara (vote buying) sesungguhnya memainkan peranan yang besar dalam melonjaknya angka pemilih Partai Demokrat dan calon presidennya, dan bukan hanya kehebatan kharisma SBY dan kesuksesan periode kepresidenannya yang lalu, yang dikemas dengan hebat oleh Fox Indonesia dalam iklan‐iklan televisinya.<br />Resistensi Partai Demokrat terhadap penggunaan hak angket DPR untuk mengungkapkan skandal Bank Century, walaupun akhirnya ikut mendukung prakarsa sebagian anggota DPR, bahkan tanpa malu‐malu menunjukkan keinginan menjadi Ketua Panitia Khusus hak angket itu, menjadi indikasi betapa besarnya keinginan petinggi‐petinggi partai itu untuk menutupi hal‐hal yang mencurigakan dalam pemberian dana talangan yang jauh melebihi yang sudah disepakati oleh parlemen. Walaupun belakangan ini ada gerakan dari sejumlah individu Partai Demokrat untuk menangkis tuduhan bahwa mereka menerima dana puluhan, bahkan ratusan milyar rupiah dari Bank Century, toh masih ada tanda tanya, ke mana larinya lima trilyun rupiah yang lenyap ke tangan “fihak ketiga” dalam hanya kurang dari setahun (Juni 2008 – Juni 2009). Sorotan terhadap beberapa beberapa nasabah terbesar Bank Century, khususnya Hartati Murdaya dan Boedi Sampoerna, sangat wajar, mengingat besarnya bantuan kedua kelompok bisnis yang mereka pimpin bagi kampanye Partai Demokrat dan calon presidennya, yang dimulai oleh Hartati Murdaya menjelang Pemilu 2004 dan semakin meningkat<br />menjelang Pemilu 2009. Sedangkan dari kelompok Sampoerna, investigasi kami menemukan dukungan dana sebesar Rp 90 milyar kepada kelompok media Jurnal Nasional yang dekat dengan Partai Demokrat dan SBY sejak 2006, di saat injeksi dana ke kelompok Jurnas mulai digantikan oleh pengusahapengusaha yang dekat dengan keluarga Cikeas, di bawah pimpinan Gatot Mudiantoro Suwondo, yang kebetulan juga Direktur Utama BNI. Kebutuhan akan dana kampanye yang semakin meningkat, yang terdongkrak oleh besarnya biaya “pencitraan” SBY melalui media, serta meluasnya jangkauan “kedermawanan” yayasan‐yayasan yang berafiliasi ke SBY dan Ny. Ani Yudhoyono, membuat keluarga Cikeas semakin tergantung pada sejumlah pengusaha kelas kakap yang berasal dari era Soeharto, seperti Syamsul Nursalim, Hartati Murdaya, dan kelompok Sampoerna, maupun yang muncul di era SBY, seperti PT Powertel dan<br />Batik Allure.<br />Kebutuhan akan dana kampanye yang begitu besar, dibarengi dengan ambisi sebagian anggota Dinasti Sarwo Edhie Wibowo untuk memperkaya diri mereka, menimbulkan kerentanan keluarga Cikeas terhadap pengusaha‐pengusaha dan makelar‐makelar kasus yang berusaha menempel ke keluarga itu, seperti Syamsul Nursalim, salah seorang pengemplang dana BLBI, yang sudah berhasil mengelabui tiga presiden berturut‐turut, berkat kedekatan Arthalyta Suryani, yang juga dikenal sebagai “Ayin”, dengan Ani Yudhoyono, dalam kedudukannya sebagai Bendahara Yayasan Mutu Manikam Nusantara yang diketuai oleh isteri mantan Menlu Hasan Wirayuda.<br />Berbicara lebih lanjut tentang yayasan‐yayasan yang dibina oleh SBY dan Ny. Ani Yudhoyono, kita bisa lihat bahwa kepengurusan yayasanyayasan itu bukan orang‐orang yang punya latar belakang dalam kedermawanan (filantropi), melainkan terdiri dari sejumlah menteri, mantan menteri, purnawirawan perwira tinggi yang kebanyakan seangkatan dengan SBY, sejumlah pengusaha, dan anggota keluarga besar SBY‐Ani Yudhoyono yang juga sudah terjun ke bidang usaha, yakni Hartanto Edhie Wibowo dan Edhie Baskoro Yudhoyono. Hartanto, adik bungsu Ny. Ani Yudhoyono, telah terjun ke bisnis serat optik di PT Powertel, bersama adik Menko Perekonomian M. Hatta Rajasa, dan pada awalnya difasilitasi proyek‐proyeknya oleh Hatta Rajasa, selagi yang bersangkutan masih menjabat sebagai Menteri Perhubungan. Sedangkan Edhie Baskoro Yudhoyono, anak bungsu SBY dan Ny. Ani Yudhoyono, baru mulai terjun dalam bisnis kue kering, dibantu oleh seorang pengusaha swasta yang sudah berlangganan di bidang itu. Dengan demikian, mantan jenderal yang mulai 20 Oktober lalu mengendalikan kendali republik ini, perlu bekerja keras untuk menciptakan pemerintahan bersih di negeri kita. Guna mengakhiri tradisi politik buruk yang dirintis mendiang Jenderal Soeharto, SBY perlu bersikap lebih tegas terhadap keluarga besarnya sendiri, agar tidak ada anak, ipar, kerabat atau sahabat yang mengambil jalan pintas mengembangkan bisnis mereka dengan mendekati bankir‐bankir pemerintah serta birokrat‐birokrat papan atas, untuk mendapatkan orderorder kelas kakap.<br />Tambahan lagi, SBY juga perlu mendorong kerabat dan sahabatnya untuk menolak pemberian kemudahan dalam penyediaan jasa jalan, listrik, dan bahan bakar bersubsidi, buat pengembangan pabrik yang baru berdiri kemarin sore. Sikap tegas terhadap keluarga dan sahabat merupakan dasar moral untuk mengambil sikap tegas terhadap semua pejabat yang melakukan komersialisasi jabatan, sebagaimana teladan Presiden Korea Selatan, Kim Young San, yang menjebloskan kedua pendahulunya – Chun Doo‐Hwan dan Roh Tae‐Woo – ke penjara, karena korupsi dan pembantaian aktivis pro‐demokrasi. Walaupun kemudian kedua jenderal itu diberinya grasi dari vonis hukuman mati dan hukuman penjara 22,5 tahun, Presiden Korsel itu juga menyerahkan anaknya, Kim Hyon Chul, untuk diadili, karena sang anak menerima sogokan dari maskapai Hanbo Steel, konon untuk menggalang dana bagi kampanye ayahnya (Alkostar 2008: 176‐80; Washington Post, 25 Januari 2007; New York Times, 18 Mei 1997).<br />Selanjutnya, untuk mengakhiri tradisi yang dirintis oleh Soeharto, sebaiknya yayasan‐yayasan yang menggunakan nama SBY maupun nama kediaman pribadinya, berhenti memanfaatkan figur‐figur pemerintah dalam struktur organisasinya. Rakyat yang cerdas juga tidak akan menuntut Kepala Negara memberi makan ribuan orang miskin di Istana Negara atau kediaman<br />pribadinya, sebab Presiden bukanlah Raja yang kaya raya, dan memberi makan fakir miskin bukan tugas Presiden dan keluarganya, melainkanmerupakan tugas sejumlah lembaga resmi, sesuai dengan ketentuan Pasal 34 Undang‐Undang Dasar 1945. Yayasan‐yayasan yang ada kaitan dengan SBY, Ny. Ani Yudhoyono, serta kerabat dan sahabatnya, sebaiknya diaudit oleh auditor publik yang independen, dan hasilnya dilaporkan ke parlemen, serta terbuka bagi media dan internet. Bukan diaudit oleh auditor langganan para bankir yang juga duduk dalam pengurus yayasan‐yayasan itu. Tujuan semua langkah itu supaya yayasan‐yayasan sosial yang dekat dengan oknum‐oknum penguasa jangan lagi menjadi pembuka jalan bagi korporasi‐korporasi raksasa untuk mendapat perhatian khusus dari pemerintah, seperti tradisi Orde Baru (lihat Radjab 1999: 47‐8; Aditjondro 2003; Aditjondro 2006; Ismawan 2007; Zen & Kristianto 2007). Dibarengi pembenahan ke dalam lingkaran kerabat dan sahabat SBY ini, pemerintahan mendatang, didukung oleh parlemen dan lembaga peradilan, selayaknya menjalankan transparansi dalam hal melaporkan kekayaan dan jaringan bisnis mereka kepada rakyat Indonesia. Tujuannya supaya rakyat dapat mengontrol pejabat yang mereka pilih dan percayakan nasib bangsa ini lima tahun ke depan. Jelasnya, transparansi kekayaan pejabat bertujuan supaya semua keputusan ekonomi dan politik yang diambil, betul‐betul demi kemaslahatan rakyat banyak, terutama mereka yang paling dipinggirkan. Bukan demi ekspansi perusahaan milik kerabat dan sahabat, dengan dalih, menciptakan lapangan kerja.<br /><br />REFERENSI :<br />Aditjondro, George Junus (2003). Dari Soeharto ke Habibie: Guru Kencing<br />Berdiri, Murid Kencing Berlari: Kedua Puncak Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme<br />Rezim Orde Baru. Jakarta: MIK (Masyarakat Indonesia untuk Kemanusiaan) & Pijar Indonesia. 2006). Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga:<br />Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa. Yogyakarta: LKiS. (2007). ‘Dialektika antara Agency dan Struktur dalam<br />Penelaahan Korupsi di Indonesia: Membangun Gerakan Anti Korupsi yang Lebih Merakyat.” Renai, No. 2, Salatiga: PERCIK, hal. 8‐23. (2009). “Menyambut Era SBY Kedua Yang (Mudah‐mudahan) Lebih Bersih dari Era SBY Pertama,” Scientiae Polites, Vol. 28, hal. 1‐10. Alkostar, Artidjo (2008). Korupsi Politik di Negara Modern. Yogyakarta: FH<br />UII Press.<br />Angkasa Pura II (2007). Laporan Tahunan 2007/ 2007 Annual Report: Together We Build A Better Future. Jakarta: PT Angkasa Pura II.<br />Ardi, Yosef & Rahmon Amri (penyunting) (2008). JSX Watch 2008‐2009. Jakarta: Pustaka Bisnis Indonesia.<br />Bank Bukopin (2002). Laporan Tahunan 2002. Jakarta: Bank Bukopin. (2006). Bank Bukopin Tbk Company Report : December 2006 As of 28 December 2006. Jakarta: Bank Bukopin. Ismawan, Indra (2007). Harta dan Yayasan Soeharto: Kontroversi tentang<br />Kekayaan dan Dugaan Korupsi Soeharto. Jakarta: PT Buku Kita.<br />Masayok (2008), Husein Al Habsy Minta KPK Selidiki Majelis Dzikir SBY, posted on the internet on August 25.<br />McBeth, John (2007). “All the President’s Men.” The Straits Times News. 2 Agustus.<br />Nikmah, Siti Khoirun & Valentina Sri Wijiyati (2008). My Dear Train, My Poor Train: Railway Efficiency Project (Proyek Efisiensi Perkeretapian). Working Paper No. 1. Jakarta: INFID (International NGO Forum on Indonesian Development).<br />PDBI (1997). Conglomeration Indonesia. Vol. 3. Jakarta: Pusat Data Business Indonesia (PDBI).<br />Radjab, Suryadi A. (1999). Praktik Culas Bisnis Gaya Orde Baru. Jakarta:<br />Grasindo. Rusly, Haris (2009). “Ini Boedi, Itu Century.” Terawang, No. 1, November,hal. 46‐48.<br />Zen, Patra M. & Agustinus Edy Kristianto (2007). Menyusup Dalam Gelap: Wajah Hitam Kejayaan Salim Group. Jakarta: Yayasan LBH Indonesia.</div>Unknownnoreply@blogger.com0